Blog ini ditujukan Damayanti untuk berbagi Cerita dan Info kepada para pembaca. Penulis punya banyak hobi. Hobi menulis, mengajar, bertani, berwisata, fotografi, dan lainnya.
Beberapa hari di Samosir minggu lalu, aku gak kuasa menahan langkahku melihat rumah Inang Namatua, Rumah Genteng.Rumah itu kini sekarang lebih keren. Katanya itu program bedah rumah. Aku masih ingat kenangan manis bersama Inang bercerita dan berdoa bersama. Dia yang ajarkan aku berdoa kepada Amang Jahowa dalam Doa Hata Haporseaon.
Rumah Inang, Rumah Genteng, di Hutaraja, Lumban Suhi-Suhi
Aku
juga langkahkan kakiku ke SD di Lumban Pasir Alngit. Di sinilah, 23 tahun silam
aku selalu menantikan Bu Sitorus menceritakan kisah Musa, Abraham, Daud, Nuh,
dan tokoh Alkitab lainnya. Cerita itu sungguh hidup sampai-sampai aku bisa
membayangkan bagaimana Musa membelah Laut Merah dengan tongkatnya.
Aku bayangkan Danau Toba yang berada
persis dekat dengan sekolahku, terbelah dan aku bisa berjalan kaki di Danau
menuju seberang. Aku ingat itu. Cintaku terhadap Bapak Yehuwa bermula di sini.
Aku yakin janji bahwa orang mati akan bangkit (hidup) kembali pasti terjadi.
Karena itu janji dari Dia, Bapak Jahowa.
Aku ingat tiap pergi dan pulang
sekolah aku harus mengurus kerbau. Aku ingat aku selalu rindu mandi di Danau
Toba. Aku ingat aku senang mengambil tanaman orang lain maksudnya mencuri
bersama kawan-kawanku di Desa Lumban Suhi-Suhi Hutaraja..haha.
SD di Alngit
Saat aku melihat ladang, aku ingat
masa kecilku tinggal di Samosir. Dulu, kalau pulang sekolah aku harus singgah
ke ladang mencangkul atau jaga padi supaya gak dimakanin burung. Waktu itu aku
merasa seperti berada di bawah penjajahan Jepang.
Aku sama sekali tidak menikmati kerja
di ladang. Soalnya sudah panas, banyak ulat, lipan, dan terkadang tekstur tanah
yang mau dicangkul itu padat karena tanah liat. Benci sekali kalau opung teriak
kerja, kerja, kerja! Kayak sekarang ni Jokowi suka bilang. Slogannya buatku
ingat kata-kata opungku. Karena malasnya mencangkul, siasat licik yang ku buat
sama opung itu izin untuk minum.
"Opung...aku minum ya."
Aku bersyukur sekali pernah tinggal di
Samosir. Kenangan itu sampai sekarang masih terekam di memoriku. Aku bahkan
masih ingat perincian banyak hal semasa kecil. Ingat semua orang di kampung
semasa aku kecil. Beberapa masih mengenali wajahku.
Hutaraja Lumban Suhi-Suhi, Samosir
Tapi. Ada satu hal yang sangat ku
rasakan berbeda saat bermalam, udara tidak lagi sesejuk dulu. Aku malah merasa
Girsang 1 jauh lebih sejuk dan dingin. Kadang aku harus pakai 2 selimut di
Girsang. Ketika di Samosir, hanya pakai sarung. Itupun sekadar saja, bukan
karena dingin.
Aku bertanya dalam hati. Besoknya ku
lihat bagian belakang Hutaraja. Ternyata pohon-pohon kemiri dan hariara
berukuran besar dulu tempat kami manjat sudah ditebang. Ku lihat di sana
dibangun Homestay. Di tempat lain, begitu juga ku bandingkan 23 tahun lalu. Ada
beberapa pohon tak lagi di situ. Aku tahu betul sebab dulu hobi manjat..
Mangga
Samosir punya opung dan tetangga juga gak seperti dulu. Buahnya tidak rimbun.
Hanya muncul sedikit di beberapa ranting. Itupun kecil. Hampir seukuran telur
ayam kampung. Ku coba cicipi mangga yang jatuh, ada yang enak. Tapi banyakan tidak
enak. Tidak seperti yang pernah ku makan semasa aku SD.
Homestay di Hutaraja
Sebenarnya,
tahun-tahun sebelumnya tiap berkunjung kesini, aku juga merasakan demikian.
Tapi baru kali ini aku ingin menulisnya. Tidak lain dan tidak bukan lagi kenapa
temperatur di sana lebih hangat ketimbang Girsang, tentulah karena pohon-pohon
sudah berkurang. Soal mangga, aku tak tahu. Siapa tahu ada teman yang tahu apa
'resep' tuk mengatasi penyakit mangga Samosir.
Kampung Wisata atau Desa Wisata jadi istilah populer
sejak Jokowi bercita-cita menjadikan desa sebagai tujuan wisata. Kaldera Toba menjadi sorotan dunia sejak mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai Taman
Bumi (Geopark). Karena kedua hal tersebut, sejumlah desa di kawasan Danau Toba
berusaha untuk menggali potensi desa masing-masing. Salah satu dari desa yang
berpotensi dijadikan Desa Wisata yakni Kampung Girsang. Selain itu, mengingat posisi
Girsang berada di kawasan Geopark Kaldera Toba, penampilan Girsang berperan
dalam meningkatkan citra Kaldera Toba, khususnya pariwisata di Kawasan Parapat,
Simalungun.
Mengapa
Girsang layak dijadikan sebagai kampung wisata. Itu karena kampung
Girsang 1 memiliki potensi daya tarik wisata baik bersifat fisik maupun non
fisik. Bersifat fisik yakni potensi alam yang sangat memikat mata para
wisatawan. Ada mata air yang jernih, air terjun, bukit-bukit yang indah, persawahan,
perkebunan dan perkampungan.
Potensi
bersifat non fisik yakni warisan budaya berupa Rumah Batak dan lainnya. Guna mendukung
Girsang sebagai Kampung Wisata, Rumah Batak di Huta Simandalahi saat ini sudah
dipugar. Penampilannya kini sudah jauh berbeda dari sebelumnya.
Guna mewujudkan
Girsang sebagai kampung wisata, anak-anak muda Girsang membentuk Tim yang
dinamai Parhuta untuk membenahi huta. Tim Parhuta dan warga Girsang siap untuk
menyediakan fasilitas, sarana dan prasarana guna mendukung kegiatan wisata.
Sejumlah spot menarik di Girsang wajib untuk
dikunjungi di antaranya pemandangan di Sitombom, Pemandangan di Gala-Gala, Huta
Simandalahi, Bukit Simumbang, dan Air Terjun Halimbingan.
Pemandangan di Sitombom
Kata
tombom dalam bahasa Batak Toba artinya jatuh. Kemungkinan karena lokasi ini berada
persis di bawah Bukit Simumbang makanya tampak jatuh. Pemandangan di lokasi ini
bagi penulis sangat indah. Khususnya ketika padi akan segera memasuki masa
panen. Ada begitu banyak sawah padi dan jagung, diselingi beberapa tanaman
keras seperti kopi, coklat, kemiri, petai, durian. Girsang terkenal sebagai
pengasil petai, durian dan kemiri. Selama Oktober dan November 2020, masyarakat
Girsang panen petai dan durian saat
lokasi lainnya sama sekali tidak panen.
Belum ada data pasti terkait luas
lokasi Sitombom. Lahan disini merupakan milik masyarakat. Yang paling memikat
perhatian lagi Sitombom terbentang di bawah bukit dan penuh dengan batu. Lokasi
ini juga jadi bukti para petani di Girsang pekerja keras, tangguh dan tidak
gampang menyerah mengingat tanah yang mereka kerjakan sulit dicangkul.
Meski tidak mudah, para petani
membentuk teras-teras sawah di sisi pegunungan yang hijau. Tiap-tiap teras
dipagari oleh pematang, dan disangga oleh dinding tanah liat yang keras atau batu.
Kebanyakan teras ditanami padi mengikuti kontur pegunungan. Beberapa lereng
berbentuk cekung dan berbentuk cembung. Teras ini dibuat guna menahan humus
saat hujan deras datang. Siapapun yang menyukai alam pasti akan menganggumi
pemandangan teras sawah ini. Teras sawah ini dibangun karena kerjasama
masyarakat, budaya marsiadapari.
Umumnya, masyarakat menanam padi air, bukan padi
darat. Varietas padi air sangat membutuhkan air. Maka, guna menunjang hal
tersebut, sistem pengairan dibutuhkan. Sungai-sungai di pegunungan disadap dan
disalurkan ke teras melalui sistem kanal atau parit. Didorong gaya gravitasi,
persediaan air disalurkan dari teras ke teras. Kita bisa menyaksikan para
petani bekerja keras! Jika Anda berkunjung kesini saat padi mulai bertumbuh,
teras ini tampak seperti mosaik yang indah dengan berbagai gradasi warna hijau.
Mempertimbangkan: Mak Ober, petani Girsang 1 sedang mempertimbangkan apakah padinya sudah layak untuk dipanen atau harus menunggu beberapa hari lagi. Pemandangan sawah padi buat suasana hati tentram.
Pemandangan di Gala-Gala
Gala-gala
adalah jenis tanaman yang mendominasi wilayah ini. Makanya lokasi ini dinamakan Gala-Gala. Sama seperti Sitombom, kawasan ini dipenuhi dengan padi dan
jagung. Akan tetapi, pemandangan di lokasi ini punya daya tarik tersendiri.
Lokasi ini menghubungkan Girsang 1 ke Girsang 2. Dari lokasi inilah kita bisa
sampai menuju air terjun.
Keunikan pemandangan ini, kita bisa
merasakan udara yang segar dengan pemandangan sawah kiri-kanan. Pembuatan teras
sawah tidak menggunakan alat-alat canggih. Masyarakat menggunakan peralatan
biasa seperti cangkul dan kayu.
Periode Panen:
Pemandangan di Gala-Gala memasuki periode panen padi. Lokasi ini cocok bagi
mereka yang gemar dengan alam dan melihat pematang sawah.
Huta Simandalahi
Huta
artinya kampung. Huta Simandalahi artinya huta ini dibuka atau dihuni oleh
keturunan Sinaga yang bernama Simandalahi. Kemungkinan besar pria bernama
Simandalahi itulah yang menamai Huta ini Simandalahi. Huta bernama Simandalahi
tidak hanya ada di Girsang 1, huta bernama Simandalahi juga terdapat di lokasi
lain di Kecamatan Girsang Sipanganbolon. Pada umumnya, kumpulan marga Sinaga
sepakat kalau huta ini dibuka oleh Simandalahi atau keturunan Simandalahi.
Kebanyakan keturunan Sinaga dari
Huta Simandalahi di Girsang 1 saat ini merantau atau berpencar ke tempat lain.
Akan tetapi, rumah Batak tersebut statusnya masih milik marga Sinaga, warisan
leluhur mereka. Demikian juga rumah Batak di huta lainnya, huta Porti, Sidasuhut dan Sidallogan.
Rumah Batak unik. Dibangun
tanpa paku dan
tahan lama. Generasi sekarang
mungkin tidak mampu untuk membuat rumah seperti itu sekarang
mengingat keterbatasan kayu dan tenaga untuk membangunnya. Belum diketahui
pasti kapan rumah Batak mulai dibangun. Mungkin sejak mulainya sejarah suku
Batak Toba.
Dulu,
rumah Batak dapat menampung hingga 12 keluarga hidup bersama dalam satu rumah. Banyak
rumah Batak yang ada saat ini sudah berusia ratusan tahun. Rumah ini terbuat dari kayu pinasa atau nangka
yang dijadikan tiang untuk menopang beban atap. Kayu poki atau kayu keras yang
digunakan untuk tiang badan bangunan. Kayu ulin digunakan untuk
membuat ukiran pada bangunan. Kayu ini memiliki sifat keras, tetapi memiliki
tekstur yang lembut pada serat kayunya. Kolong rumah digunakan sebagai tempat
ternak-anjing, ayam, babi, kerbau, dan sapi. Namun, di Kampung Girsang saat
ini rumah hanya dihuni satu keluarga dan kolong rumah biasaya dijadikan gudang.
Pemugaran Huta Silalahi: Kampung Simandalahi yang sudah dan terus
dipugar demi menarik perhatian para pengunjung.
Bukit Simumbang
Bukit Simumbang merupakan bukit di Kampung Girsang 1.
Saat penulis memeriksa ketinggiannya melalui aplikasi My Elevation, ketinggian
tempat penulis berada yakni di Pondok Simumbang, mencapai 1.196 meter. Lokasi
tersebut milik Kehutanan dikelola oleh masyarakat. Akses ke sinilah salah satu yang dibenahi oleh Tim
Parhuta yang memungkinkan masyarakat setempat maupun wisatawan untuk menikmati
jungle trekking atau mendaki gunung. Dari lokasi ini, kita dapat menyaksikan
pemandangan Danau Toba yang indah dan Kota Parapat yang penuh dengan hotel.
Sebelum sampai ke Bukit Simumbang,
kita akan menyaksikan tanaman-tanaman pangan seperti padi, jagung, ubi jalar,
ubi kayu, tebu, pisang, kopi, tomat, coklat, nenas, alpukat, asam, berbagai
kacang-kacangan, rempah-rempah, dan lainnya. Lokasi Girsang merupakan sumber
bahan pangan.
Selain sebagai bahan pangan, banyak
rempah-rempahan di hutan digunakan sebagai obat-obatan. Apalagi selama pandemi
Corona melanda, rempah seperti jahe, kunyit, lengkuas diburu karena khasiatnya.
Penduduk kampung Girsang 1 juga turut membudidayakan dan menggunakannya guna
meningkatkan daya tahan tubuh. Kawasan ini cocok bagi para peneliti untuk
meriset apakah ada tanaman di hutan ini berpotensi dijadikan obat.
Hutan yang lebat ini juga
menghasilkan oksigen dan menjaga Kampung Girsang 1 dari hujan deras yang
mengikis tanah. Karena hutannya masih lestari, di sejumlah lokasi terdapat
sungai tadah hujan. Sungai-sungai ini terbentuk karena adanya hutan tropis
sepanjang tahun. Di dalam sejumlah sungai tersebut, masyarakat setempat
memanfaatkannya sebagai sumber pengairan air dan budidaya ikan seperti Lele dan
Gabus. Di dalam hutan ini, kita juga bisa menjumpai berbagai jenis satwa
seperti Imbo atau Siamang, burung Enggang, Beruang Madu, dan binatang unik
lainnya.
Budaya Berkebun
Penduduk di Girsang 1 membudayakan
diri mereka untuk bertani. Sejak kecil, orang tua mereka membawa anak-anak
mereka untuk bertani. Budaya inilah yang membentuk karakter anak-anak,
mengajarkan mereka pentingnya bekerja keras. Sebab, anak-anak diajarkan bahwa
segala sesuatu itu harus ada proses. Mulai dari menanam, merawat atau mengurus,
memberikan pupuk dan membersihkan rumput hingga memanen. Itu butuh proses
panjang.
Beberapa anak di kampung ini
terkenal sangat berani. Beberapa yang penulis kenal sanggup berjalan kaki ke
lokasi untuk mengambil tuak tanpa menggunakan sandal atau sarung tangan. Hanya
bermodalkan parang. Mereka sering jumpa ular dan binatang berbisa lainnya. Tapi
mereka kebal terhadap serangan binatang tersebut.
Melihat:Seorang anak melihat hamparan tanaman jahe di salah satu lokasi mendekati Simumbang. Budaya bertani telah ditanamkan kepada anak-anak di desa ini sejak kecil.
HUTAN GIRSANG 1: Pemandangan Hutan Girsang 1. Suara Siamang (Imbo) sering bersahut-sahutan di dalam hutan ini. Karena hutan sangat lebat, udara sejuk, segar dan pemandangan asri.
Per Maret 2020, Virus Corona menjadi populer bukan hanya di televisi bahkan sampai merambah ke seluruh pelosok Tanah Air. Tak terkecuali dampaknya sampai ke perkampungan yang tenang di Kampung Girsang 1. Pada akhir Maret, kewaspadaan terhadap penyebaran Virus Corona mendorong Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menginstruksikan agar proses belajar-mengajar secara fisik dihentikan. Sebagai guru honor bergaji kecil aku ikut terkena imbas Corona. Kegiatan belajar-mengajar harus dilakukan secara online atau daring. Sebelumnya aku bisa dapatkan penghasilan tambahan dengan mengajar les di sore. Karena Corona, aktivitas itu pun terpaksa dihentikan.
Apa yang harus ku lakukan sekarang? Tidak mungkin aku terus di rumah. Darimana penghasilan untuk menutupi bayar sewa rumah, listrik, air dan lainnya? pertanyaan itu terus muncul berkali-kali dalam benakku. Aku duduk di kursi dan ingat kenangan masa kecilku. Aku ingat semasa kecil aku tinggal di Samosir, bertani dan beternak. Aku ingat bagaimana nenek dan kakek membudidayakan cabe, jagung, ubi, padi dan lainnya. Dulu, aku juga menjaga kerbau.
Sembari memikirkan pengalaman ini, aku merenungkan keuntungan hidup bertani. Saat di Samosir, aku ingat nenek-kakek jarang keluarkan duit untuk kebutuhan dapur. Sebab, kebutuhan dapur bisa diperoleh dari pekarangan dan ladang. Maka pikirku, Cocok ini! Aku harus mulai berkebun. Manfaatkan lahan di depan dan belakang rumah. Toh, aku pun sudah punya sedikit pengalaman dalam bidang ini
Bertani
Sebelum pandemi terjadi, seorang sahabat yang rumahnya ku sewa, pernah menawarkan lahannya untuk ku kerjakan. Aku segera hubungi dia dan bilang aku mau kerjakan lahannya. Sahabatku ini tidak yakin mengingat aku dari Medan. Tapi dia tetap mendukungku mengingat tidak ada pilihan pekerjaan lain yang bisa ku kerjakan. Dia pun mempersiapkanku dengan batang ubi kayu untuk ku tanam. Dia pastikan aku tidak heboh secara wacana tapi miskin dalam penerapan. Belakangan, dia lihat langsung apa yang ku tanam baik di pekarangan rumah dan di ladang.
Aku mengerjakannya sendirian. Sebab, aku tidak punya uang untuk menggaji orang. Lahan tersebut penuh dengan semak. Aku bingung bagaimana untuk memulainya. Aku bertanya kepada kawan yang sehari-harinya berkebun. Dia bilang aku harus beli pembasmi rumput dan akar dosis keras mengingat lahan tersebut sudah lama tidak dikerjakan. Ku putuskan untuk keluarkan biaya lumayan untuk membeli kebutuhan ke ladang seperti pembasmi rumput, sarung tangan, sepatu boot, masker, bibit dan peralatan untuk berladang lainnya. Aku tak ingin kerja setengah-setengah. Harus benar-benar total kerahkan upaya sekuat tenaga.
Ku mulai membersihkan semak dengan menyabit rumput atau tanaman yang tinggi hingga ke tanah. Butuh waktu seharian untuk menyelesaikannya. Lalu hari berikutnya aku menyemprot semua lahan dengan pembasmi rumput. Ku biarkan dua hari sesuai saran kawan hingga kering. Berikutnya, aku membakarnya total sampai lahan bersih. Aku senang sekali saat melihat lahan tersebut bersih. Tanpa pikir panjang, aku segera menanam. Ku tanam jagung, ubi jalar, ubi kayu, kopi, dan lainnya. Saking semangatnya, kawan-kawanku tertawa terbahak-bahak melihat hasil kerjaku. Mereka menilai sebaiknya tanaman itu cukup satu atau dua macam saja. Jangan banyak macam.
Pada Juli akhir, aku sudah panen jagung sekalipun tidak maksimal. Tak seperti hasil panen tetangga. Tapi hasilnya bisa ku nikmati. Selebihnya, ku jadikan pakan ayam. Karena tenagaku seadanya, aku mulai tanam bibit jagung yang baru. Aku juga minta lahan di belakang sekolah tempatku mengajar untuk ku kerjakan. Aku tanam kacang merah. Hanya butuh 2,5 bulan menunggu tanaman tersebut menghasilkan panen. Pertengahan Agustus aku sudah memanennya. Bertepatan saat itu datang kerabat dari Medan, aku langsung berikan dua kilo ke mereka. Aku bangga bisa berikan karya tanganku ke mereka. Mereka menghargainya sambil nyeletuk, "Kapannya kau belajar bertani?
Beternak
Setelah menanam jagung, aku merasa siap untuk beternak ayam. Bagiku hewan itu yang paling mungkin ku budidayakan di belakang rumah. Sebelum beternak, aku sudah banyak baca bahan di internet tentang budidaya ayam. Aku cari tips mulai dari membuat kandang ayam berbiaya rendah, pakan alternatif ayam yang hemat, upaya mencegah penyakit pada ayam dan cara menangani penyakit ayam. Karena merasa persiapanku sudah matang, aku segera menjalankannya.
Aku meminta bantuan seorang Paman yang adalah tetangga dekat rumah. Dia dengan baik hati membantuku untuk membuatkan kandang ayam berupa kotak kecil. Bahannya memakan biaya lumayan bagiku. Sekitar 2juta. Lain lagi ayam yang ku beli 23 ekor untuk tahap awal.
Gairahku untuk selalu belajar terus mengalir. Aku ikut beberapa komunitas peternak ayam di sosial media. Hingga akhirnya aku tertarik untuk mencoba budidaya maggot untuk pakan ayam. Bertepatan sekali seorang kawan punya usaha buah di Pasar Tiga Raja. Aku permisi sama dia untuk menampung buah-buahan yang busuk. Tiap Sabtu aku menjemput buah busuk untuk ku jadikan pakan maggot. Aku sudah coba dan terbukti. Pakan dari maggot mampu meningkatkan bobot daging ayam. Itu salah satu upayaku untuk memanfaatkan apa yang di alam, mendaur ulang sumber daya ada.
Meningkatkan Peluang
Aku semakin tertantang untuk meningkatkan peluang dan potensi di desa. Aku suka kopi. Sebenarnya sudah lama aku ingin serius mengolah kopi. Karena di desaku rata-rata masyarakat membudidayakan kopi, ku pikir tepat sekali bila aku mendalaminya. Lagi, selama Corona aku punya waktu banyak untuk mengolah kopi dari pasca panen hingga menjadi kopi bubuk. Modal pengetahuan dari teman dan sumber lainnya, buatku berhasil membuat kopi. Bagiku rasanya lebih nikmat ketimbang yang dijual di Pasar karena aku memilih biji kopi terbaik. Sesekali aku menjualnya kepada kawan-kawan. Itulah lagi satu hobi yang ku gandrungi selama Corona yang menghasilkan duit.
Hal menarik lagi yang ku lakukan selama Corona yakni jadi buruh panen padi. Selama bulan Juli hingga Agustus adalah musim panen padi. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk mengulang kembali kenangan masa kecilku. Ku ingat aku sangat menyukai masa-masa dimana banyak kawan berkumpul saling membantu untuk panen padi. Dalam bahasa Batak Toba disebut Marsidapari. Kegiatan ini jadi caraku untuk menangkal perasaan jenuh selama pandemi. Tidak hanya mengusir rasa jenuh, aku pun dapat uang masuk selama krisis pendapatan akibat Corona.
Beruntung sekali kawan kerja di sekolah punya lahan padi. Saat aku menawarkan diri untuk panen padi, dia ragu. Dia bilang nanti aku gak sanggup. Tapi akhirnya dia dengan senyumnya melirikku sambil berkata, "Kalau kau serius mau ikut panen, datanglah besok pagi ke rumahku ya". Dengan semangat berapi-api besoknya aku menjumpainya di rumah. Lalu kami ke sawah menyabit padi. Seharian kami menyabit padi. Gajiku sehari Rp. 60ribu. Aku bekerja selama 2 hari. Di hari kedua kami membanting padi, membersihkannya, memasukkannya ke karung dan membawanya ke rumah. Seru sekali! Aku sangat menikmati momen tersebut.
Karena ikut memanen padi, wawasanku terhadap desa tempatku tinggal bertambah. Sebab, baru 6 bulan aku pindah ke Kampung Girsang 1. Aku belum pernah berjalan ke seluruh lokasi di sini. Secara khusus, ke puncak gunung yang mengelilingi desa ini. Aku berdecak kagum melihat keindahan desa ini. Beruntung sekali, ada 2 kawan lagi yang juga panen padi mengajakku ikut panen, aku bisa menjelajahi banyak lokasi di Kampung Girsang 1 ini.
Aku jadi tahu potensi sumber daya alam di desa ini. Aku melihat masih ada kampung dengan Rumah Batak. Ada mata air yang mengairi sawah. Mata air itupun memenuhi sungai yang dipakai masyarakat setempat. Di puncak gunung, aku bisa memandang Danau Toba yang begitu indah. Aku pun tidak melewatkan kesempatan untuk mendokumentasikannya. Karena aku juga hobi fotografi.
Belakangan, ada seorang kakak yang mengajakku untuk menggali potensi desa. Dia kelahiran Desa Girsang 1 yang menikah dengan seorang pria di Inggris. Dia baik hati. Bulan April saat Pemerintah mengumumkan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar, dia memberikan bantuan kepada warga desa, termasuk kepada saya warga baru, bantuan berupa sembako. Karena tersentuh dengan kebaikannya, aku tertarik dengannya dan programnya untuk membantu masyarakat desa.
Aku masih tetap bertani dan beternak hingga sekarang. Tapi aku punya tugas tambahan lain untuk saat ini, menggali potensi Kampung Girsang untuk dijadikan Desa Wisata. Semoga upaya Kak Norma, wanita yang ku sebut tadi, bisa ku bantu semampuku. Sebab, programnya ini akan membantu meningkatkan kemampuan masyarakat desa menghadapi ekonomi yang semakin sulit. Ekonomi memang melesu akibat pengaruh Corona. Belum tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Sekalipun ekonomi saat ini masih lesu, wisatawan sepi, bukan berarti tidak masuk akal bahas desa wisata. Aku terus ingin belajar, meriset, lakukan ini itu. Aku tak izinkan Corona menghambat kreativitas dan kebahagianku!
Per Maret 2020, mendadak pandemi Virus Corona menjadi populer bukan hanya di televisi bahkan sampai merambah ke seluruh pelosok Tanah Air. Tak terkecuali dampaknya sampai ke perkampungan yang tenang di Kampung Girsang 1. Pada akhir Maret, kewaspadaan terhadap penyebaran Virus Corona mendorong Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menginstruksikan agar proses belajar-mengajar secara fisik dihentikan. Kegiatan belajar-mengajar harus dilakukan secara online atau daring.
Hal ini mengakibatkan kebingungan bagi para murid dan orang tua. Terlebih bagi para guru dan kepala sekolah. Untuk pertama kalinya kasus seperti ini terjadi. Tidak ada yang memprediksi hal ini akan terjadi. Tidak ada persiapan untuk menghadapi kondisi tersebut. Pembelajaran daring menimbulkan tantangan, khususnya bagi mereka yang tidak terbiasa menggunakan sejumlah aplikasi tertentu.
Tantangan Daring
Karena sudah menjadi keharusan, kami guru-guru SD 66 mengerahkan upaya untuk membiasakan diri menggunakan aplikasi WhatsApp untuk melakukan proses belajar-mengajar daring. Pada Maret, kami sibuk mempersiapkan semua hal berhubungan dengan belajar secara daring. Mulai dari mengumpulkan nomor WhatsApp orang tua murid, membuat tugas daring, mengunggah tugas hingga menilai tugas.
Kegiatan ini juga membuat para orang tua dan murid harus menerima kebiasaan baru. Orang tua yang selama ini sibuk berladang, terpaksa harus turun tangan mendampingi anak mereka untuk belajar dan membantu mengirim jawaban mereka ke WhatsApp grup.
Tantangan lain, beberapa dari mereka tidak punya handphone Android, tidak tahu harus bagaimana supaya anak mereka dapat mengikuti pelajaran di sekolah. Ada yang tinggal dimana sinyal internet tidak ada. Lantas, apa yang dapat kami lakukan?
Kami sepakat agar para murid tersebut menjemput tugas mereka yang sudah disediakan guru tiap bidang studi. Setelah itu, mereka akan menjawabnya di masing-masing buku per bidang studi. Buku itu dikumpul tiap akhir bulan. Dengan demikian, meminimalkan kontak fisik guna menghindari penyebaran Virus Corona.
Serba-Serbi
Bagiku sendiri, belajar secara daring tak hanya menimbulkan tantangan. Juga, memunculkan beberapa hal lucu. Salah satunya, sering sekali anak yang rajin dan pintar menjadi bahan contekan bagi kawan mereka. Sebut saja si A. Jika si A posting tugasnya, seketika itu juga teman di grup akan beramai-ramai meniru tugas yang dia posting di grup. Oleh karena itu, aku menyarankan agar tugas mereka dikirim melalui jalur pribadi ke akun WhatsAppku.
Sering sekali saat hendak memberikan tugas, aku terbentur pada fakta bahwa apa yang dapat dipahami muridku terbatas, mengingat penjelaskanku hanya sebatas tulisan. Apalagi yang ku ajarkan Matematika, sesuatu yang harus dijelaskan secara gamblang, tidak bisa dipahami hanya dengan membaca atau mendengarkan saja. Harus ada latihan. Inginku buat video kreatif mengajar Matematika. Namun, apa daya ku pertimbangkan kembali kemampuan orang tua untuk beli paket data dan bandwith internet di Kampung Girsang 1. Jadi ku putuskan untuk memberikan tugas yang mudah dan tidak menjejali mereka dengan tumpukan tugas.
Ajaran Baru
Memasuki tahun ajaran baru, muncul perubahan lagi. Semester sebelumnya, pemberian tugas melalui WhatsApp kami berikan dari rumah. Tetapi, tahun ajaran baru, Dinas Pendidikan menginstruksikan agar guru-guru wajib ke sekolah untuk memberikan tugas secara daring.
Persoalan baru yakni bagaimana mengajari siswa baru kelas 1 yang belum bisa membaca dan menulis?
Kepala sekolah kami, Bu Rosmawaty Sinaga dan Guru kelas 1 Bu Rajaguk-guk sepakat untuk mengadakan proses belajar-mengajar secara fisik di rumah anak masing-masing. Bu Rajagukguk terpaksa melanggar aturan pemerintah untuk menjaga jarak fisik. Namun, ia tetap mengikuti protokol kesehatan lainnya seperti menggunakan masker dan cuci tangan. Dia berjalan kaki ke rumah-rumah murid untuk mengajar mereka membaca dan menulis. Kegiatan ini ia lakukan tiap hari kecuali Sabtu dan Minggu.
Bu Rajagukguk bercerita terkait kondisi Corona ini membuatnya kelelahan ketimbang sebelumnya. Soalnya, dia harus menempuh perjalananan cukup jauh menuju rumah siswa. Dia sendiri tidak punya kendaraan. Kadang kala, saat ia ke rumah murid, ia tidak menjumpai murid tersebut. Biasanya hal ini terjadi karena orang tua mereka tidak mengawasi anak mereka di rumah. Orang tua sibuk berladang, anak mereka bermain kesana-kemari. Tapi ada juga orang tua yang menyempatkan waktu mereka untuk menemani anak mereka belajar.
"Pergi aku ke rumah si Purba, tidak ada dia di rumah. Mamanya pun gak ada di rumah. Mungkin sudah ke ladang. Sudah ku cari kesana-kemari, gak nampak dia. Capek aku, "kata Bu Rajagukguk kepada kami di Kantor Kepsek.
Saat berkumpul, seperti biasa, kami para guru berbagi cerita satu sama lain. Ku awali dengan cerita tentang beberapa anak yang tidak pernah mengumpulkan tugasnya sama sekali. Sudah beberapa kali aku menyempatkan diri singgah ke rumah mereka agar mereka datang ke sekolah menjemput tugas mereka. Aku juga minta tolong kepada orang tua mereka agar menyuruh anak mereka ke sekolah menjemput tugas dan bila mungkin segera menyelesaikannya di sekolah.
Karena sudah jenuh dengan pembelajaran daring yang kurang efektif dan merasa bersalah dengan keadaan pembelajaran yang tidak dapat kami kendalikan, kami para guru mengusulkan kepada kepala sekolah agar pembelajaran dilakukan secara fisik dengan pengaturan baru. 1 kelas dibagi menjadi 2 atau 3 gelombang. Sebab, kawasan Simalungun, khususnya Desa Girsang 1, tidak masuk daftar zona merah. Namun, ide ini tidak bisa dijalankan kata Kepala Sekolah mengingat beberapa pertimbangan. Kami pun tetap mengikuti petunjuk pemerintah.
Memetik Pelajaran
Meskipun mengajar menjadi sulit karena Corona, ada beberapa hal yang masih bisa ku syukuri sebagai guru. Selama ini, orang tua mungkin tidak tahu betapa sulit dan lelahnya mengajar dan mendidik anak mereka, semoga kondisi ini membuat pikiran mereka terbuka tentang beban berat yang dijalankan guru.
Selama Corona ini, kami hanya dapat berfokus pada apa yang bisa kami lakukan. Kami tidak bisa mengubah keputusan Menteri maupun Dinas Pendidikan. Kami guru berharap orang tua bersinergi bersama kami, sama-sama mendidik anak-anak. Bila anak-anak mereka tampaknya tidak bisa memahami pelajaran tertentu atau kewalahan dengan tugas, bantu mereka. Sebab, sejatinya yang punya peran utama dalam mendidik anak adalah orang tua. Mereka perlu diawasi, disemangati, dan dibimbing mengerjakan tugas mereka.
Saran lain yang bisa kami kemukakan tertuju kepada perusahaan provider jaringan telekomunikasi. Fakta berlakunya pembelajaran daring menjadi momentum penting untuk dipikirkan perusahaan provider, yakni membantu masyarakat khususnya guru dan murid dapat menikmati pembelajaran daring di daerah terpencil seperti di Kampung Girsang 1.
Sejak belajar daring berlaku Maret lalu, sudah 2 kali saya ganti provider untuk mencari sinyal provider mana yang paling kencang dan stabil. Pertama saya pakai Telkomsel lalu Axis, dan ada rencana ganti lagi sebab di jam-jam tertentu, apalagi saat listrik mati, sinyal internet Telkomsel dan Axis terputus.
Perusahaan-perusahaan provider perlu menggaet para pemangku kepentingan di bidang pendidikan dan pengusaha teknologi informasi (TI) dengan tujuan meningkatkan melek teknologi dan internet masyarakat, khususnya bagi kami guru dan orang tua murid yang tinggal di pedalaman. Fakta tidak semua warga di Indonesia, khususnya di kampung seperti kami, mampu menguasai perkembangan teknologi. Tapi kami siap untuk belajar dan diajar.
Saya secara pribadi juga mempertanyakan peran Dewan TIK yang dibentuk tahun 2014. Saya membaca di Wikipedia Dewan tersebut dibentuk dengan tujuan mengembangkan e-leadership dan melakukan koordinasi seluruh elemen bangsa melalui peningkatan kualitas prasarana serta sarana TI dan pengembangan inovasi. Maaf, bukannya mempersalahkan. Pengamatan saya selama ini peran Dewan TIK belum maksimal dalam penerapan praktis di masing-masing daerah yang tersebar di Indonesia dan secara khusus ke institusi pendidikan.
*Penulis adalah Guru Matematika di SD 091466 Kampung Girsang 1, Simalungun.
Fotoku bersama adek-adek dan kawan-kawan dari Malaysia. Sekalipun berbeda bangsa, bahasa dan kebudayaan, Bapak dan Allah kami sama. Allah kami bernama Yehuwa. Pendidik teragung dan paling cerdas di alam semesta.
Apa yang buat aku semakin yakin bahwa akan semakin banyak orang menuju Gunung Rumah Yehuwa/Jahowa.
Salah satu alasannya adalah orang-orang akan sadar bahwa pendidikan dunia itu Pendidikan Salah Kaprah!
Salah kaprah karena anak-anak diajarkan untuk selalu jadi no 1. Apa saja dilakukan sekalipun curang demi dapat nilai dan prestasi bagus. Mau nyontek, mau nyogok, mau hal curang apapun dilakukan demi raport atau IPK bagus. Beda banget dengan ajaran Yesus yang selalu utamakan mengalah dan jujur dalam segala hal.
Salah satunya buat ujian nasional. Sampai-sampai ada polisi pula yang ngawas. Eh tahu-tahu, di balik layar, kunci jawaban beredar. Diperdagangkan pula itu! Inilah yang buat aku dilema jadi guru. Berhentilah aku mengajar di sekolah, tergangu hati nuraniku. Lain lagi tuntutan kurikulum yang entah apa-apa, semua hanya bersifat tertulis dan tak sesuai kenyataan. Ah..pendidikan sekolah mah lebih diorientasikan jadi lahan bisnis. Cek saja di sekolah-kampus, mulai dari pengadaan buku, peralatan, dsb.
Lain lagi kondisi sekolah sekarang. Sifat manusia zaman sekarang menggenapi kali nubuatan 2 Timotius 3:1-5. Mau pendidik, mau murid, sama saja---kebanyakan gak beres. Ada yang ke sekolah atau ke kampus tujuan mau bergaya atau pacaran. Ada lagi sekadar sekolah yang penting punya ijazah dan bisa lamar kerja. Eh tahu2 sudah punya ijazah gak dapat kerjaan pula. S1 dan S2 pula gak dapat2 kerja. Kok bisa? Karena tujuan kuliah hanya mau dapat ijazah, bukan keterampilan dan bekal pengetahuan.
Pendidik di sekolah dan kampus juga sama kondisinya. Mengajar demi gaji tiap bulan. Kalau bisa dapat persenan dari pendaftaran murid atau buku. Apalagi sifat anak-anak makin parah, ya makin cueklah guru. Daripada dilaporin murid dan ortu ke polisi kalau didisplin mending diam-diam saja yang penting gaji jalan. Itulah juga buatku dilema sebagai guru.
Lain lagi proyek sekolah entah apa-apa. Ganti Menteri Pendidikan ganti kurikulum. Ganti buku, ganti ini itu demi proyek yang bisa datangkan uang masuk bagi mereka-mereka pejabat dkk. Kalau bisa, apa saja digarap yang penting tiap saat ada uang masuk. Dan mereka gak benar-benar terpanggil jadi pendidik, yang penting HEPENG.
Maka gak heran kalau guru pun tidak ada lagi yang benar-benar mengabdi dan idealis. Sebab, dari atasan sampai bawahan hampir sama. Sama-sama punya tujuan matrealistis. Maka gak heran sekolah dan kampus hanya menghasilkan produk-produk gagal. Gagal sebab anak murid dan kampus entah bagaimana wujudnya. Susah awak mendeskripsikannya.
Ini beda sekali dengan Organisasi Yehuwa. Alkitab gak pernah ganti kurikulum. Gak ada celah sedikit pun untuk korupsi di Organisasi Yehuwa. Semua pekerjanya adalah pekerja sukarela. Kalau punya motif-motif tertentu, cepat atau lambat toh Allah Yehuwa bakal singkapkan.
Upah jadi pekerja sukarela juga jauh lebih gede ketimbang jadi guru atau dosen di sekolah. Jaminannya di Matius 6:33. Kalau gak coba terjun langsung mana bisa yakin itu kata2 benar. Punya kehidupan bahagia zaman sekarang, upah pasti di masa depan.
So, buat apa lagi sibukkan diri sama Pendidikan Salah Kaprah! Yuk melamar jadi Pekerja Yehuwa. Mumpung masih ada sisa waktu, masih bisa berbuat. Kita berikan yang terbaik buat Bapak Sorgawi kita! Yuk!
Namaku Damayanti. Lahir pada 9 Desember 1989 di
Medan. Aku anak keempat dari 7 bersaudara. Mamaku Sijabat. Papaku Sinaga. Sejak
kecil aku hidup susah, miskin. Kami sering pindah-pindah rumah karena terus
mengontrak. Sejak kecil, aku merasakan betapa sulitnya hidup keluarga kami.
Kadang aku merasa iri melihat orang-orang kaya yang bisa punya ini itu. Aku
juga bingung mengapa mama dan bapak sering berantem. Kala itu aku sering
menyaksikan mama bawa kayu ke kedai hanya gara-gara bapak sering tidak pulang
ke rumah dan menghabiskan uangnya di kedai. Singkatnya, saat itu aku kurang
respek dan bahkan benci sama bapak.
Merantau
ke Samosir, Lumban Suhi-Suhi Toruan
Dari kecil, aku sudah menyadari ketidakberesan di
keluargaku. Karena ingin meningkatkan taraf hidup, usia 8 tahun atau kelas 2
SD, aku sudah merantau, ikut tinggal bersama tulangnya mama (opung Situmorang)
di Lumban Suhi-Suhi Samosir. Aku ditawarin opung ikut samanya biar aku bisa diperjuangkannya
untuk sekolah tinggi. Tawaran untuk jadi orang sukses dan iming-iming lainnya,
langsung memikatku. Lagi, aku berpikir, orang tuaku belum tentu bisa sekolahkan
aku ke perguruan tinggi. Semasa kecil, aku bertekad untuk jadi polisi wanita.
Soalnya, aku tidak suka melihat kejahatan dan ketidakadilan, termasuk aku ingin
memberantas kedai-kedai orang Batak.
Saat di Samosir, aktivitas sehari-hariku berubah
total. Dari yang biasanya pulang sekolah di rumah, aku harus ke ladang. Setiap
pagi pergi ke sekolah, aku harus bawa kerbau makan dan menempatkannya atau
dalam bahasa Batak manambat horbo. Pulang sekolah, aku bawa kerbau minum atau
memindahkannya ke padang rumput lain. Selesai itu, aku masih harus di ladang.
Aku dan opung boru dan doli sama-sama makan di ladang. Kadang, aku kesal sekali
sama mereka, menyesal ikut opung tinggal di Samosir karena aku diporsir kali
bekerja.
Saat kawan-kawan seusiaku biasanya masih memiliki
waktu bermain, aku di ladang terus-menerus. Sering sekali aku kena repet oleh
opung doli karena aku kerap menghayal atau istirahat. Maklumlah, aku yang gak
pernah mencangkul dipaksa mencangkul di tengah terik matahari, akibatnya lelah
dan sering cari alasan biar istirahat. Meski aku tinggal bersama tulang mama,
tiap malam aku tidur bersama opungnya mama, aku sebut dia Inang Namatua.
Sebenarnya, saat aku diminta ke Samosir, aku ditugaskan untuk jaga Inang
Namatua. Namun, faktanya aku diperkerjakan di ladang dan jaga kerbau opung.
Karena kebutuhanku sering diabaikan opung dan aku
terkadang direndahkan opung karena orang tuaku miskin, aku jadi ingin balik ke
Medan. Bayangkan betapa sakit hati dan kecewanya aku selama bertahun-tahun di
Samosir. Sering kali aku ditinggal opung. Mereka pergi ke pesta tanpa
meninggalkan makanan bagiku. Aku disuruh urus kerbau dan mencangkul tapi
kebutuhanku tidak dipenuhi sama sekali, buatku sering menangis. Kala itu, aku
jadi ikut-ikutan kawan mencuri di ladang, curi jagung, ubi, atau apalah yang
bisa dimakan. Curi uang inang juga iya.
Ya, karena ketahuan mencurilah akhirnya opung
yang dikenal sebagai sosok terpandang di kampung mengamuk lalu memukuliku. Aku
dipukuli pakai kayu hingga badanku bengkak merah-merah. Saat itu aku menjerit
minta tolong dan aku ingin balik ke orang tuaku.
Tahu-tahu, seminggu setelah kejadian itu, bapakku
datang ke Samosir melihat aku. Aku senang sekali melihat bapak dan langsung
saat itu pula aku minta ikut balik ke Medan. Opung terlihat kaget dan tak
menyangka aku memilih pulang ke Medan. Aku merasa terbebas dari belenggu beban
kala itu. Meski begitu, banyak kenangan indah yang ku dapat saat di Samosir.
Aku belajar menjadi gembala, petani, dan kadang menjadi nelayan. Soalnya,
setiap mandi di Danau Toba, aku biasanya pakai sampan para nelayan di sana
untuk sekadar main.
Pertama
Kali Mendengar Nama Jahowa
Kehidupan desa sungguh nikmat. Kenangan akan hal
ini juga yang buatku selalu rindu sama Samosir. Di Samosir jugalah aku sering
mendengarkan opung dan Inang Namatua berdoa dengan menyebut nama Jahowa dalam
doa “Hata Haporseaon”.
Aku memang ikut opung beragama Katolik kala itu,
tapi aku lebih suka mendengarkan guru agama Protestan, Bu Sitorus, menceritakan
kisah Musa, Abraham, Daud, Yusuf, dan tokoh lainnya saat apel pagi. Bisa
dibilang, kecintaanku sama Alkitab tumbuh waktu aku SD di Samosir, di SD Lumban
Pasir Alngit.
Tak Lama
di Medan, Merantau Lagi ke Papua
Kelas 6 SD aku balik ke Medan dan kembali hidup
bersama orang tuaku. Meski kembali hidup normal karena tidak lagi kerja di
ladang, aku malah jadi sering rindu Samosir. Setahun kemudian, tepat aku kelas
7 SMP, Inang Namatua meninggal. Nah, saat itu juga anaknya Inang Namatua dari
Papua, membujuk mama supaya aku ikut denganya ke Papua. Janjinya, mau sekolahin
aku jadi dokter atau apapun cita-citaku katanya bakal dipenuhi. Gak tahu kenapa,
aku sangat terpikat tawaran untuk merantau lagi.
Singkat cerita, sampailah aku di Sorong, Papua.
Aku belajar banyak hal di sana. Aku bantu menjalankan bisnis dagang opungku.
Aku ditempah jadi orang yang punya displin militer dan kerja nonstop bagaikan
robot. Aku tidak menyangka, perkataan manis opungku (tulangnya mama paling
bungsu) malah sangat mengecewakan. Aku tidak sangka kalau aku malah diperbudak
di tokonya. Tiap hari, tugasku merapikan barang, angkat barang, hitung uang dan
lainnya. Bahkan, beras isi 50 kg mampu ku angkat makanya lenganku berotot.
Sebenarnya, aku kecewa berat dan ingin mengadu ke orang tuaku. Tapi, aku gak
bisa mengadu. Aktivitasku sangat dikontrol. Makanya, aku tidak bisa berkutik.
Bahkan, saat pulang sekolah, main sebentar saja sama kawan, tidak boleh karena
aku harus kerja.
Ini bagian kisah hidupku yang paling menyakitkan.
Aku menelan rasa kecewa menahun. Tapi, yang lebih kecewa lagi saat aku akan
tamat SMA. Opung mengingkari janjinya kuliahkan aku. Dia mau kuliahkan aku
dengan syarat kuliahnya di STIKES keperawatan yang dekat dengan rumahnya.
Kemungkinan ini trik opung supaya dia bisa terus menguras tenagaku.
Aku sangat kecewa. Aku malu dengan kawan-kawanku
yang terus-menerus bertanya kemana aku kuliah. Aku dikenal sebagai anak yang
berprestasi dan dekat dengan guru. Bahkan aku dikenal sebagai tangan kanan wali
kelas. Jadi, saat itu bagiku, kuliah keperawatan kurang bergengsi dan aku
memang tidak berminat jadi perawat. Aku berulang kali minta sama opung supaya
aku ambil jurusan manajemen bisnis saja atau komputer. Tapi, opung malah bilang
aku tidak tahu diri! Kala itu aku bagaikan orang tersesat tanpa pilihan.
Satu-satunya tempat mengaduku adalah kawan-kawan
terdekatku di SMA Negeri 2 Sorong. Salah satunya adalah Cempaka, saudari yang
mengenalkanku tentang Allah Yehuwa. Meski hidupku sulit, aku sangat bersyukur
justru di sinilah aku mengenal Bapak Yehuwa. Aku mendapat banyak makanan rohani
dengan rajin melahap majalah-majalah yang dibawa Cempaka. Saat tahu opung tidak
bakal memenuhi permintaanku, aku sudah janji sama Cempaka, aku bakal nyari
Saksi-Saksi Yehuwa kalau aku balik ke Medan. Dan memang, akhirnya dengan mogok
makan selama berhari-hari, aku akhirnya balik ke Medan tanpa uang saku atau
uang kuliah sepeserpun. Hanya tiket pulang ke Medanlah yang ku dapat dari
opungku selama aku mengabdi 5 tahun. Aku selalu setia mengelola tokonya. Aku
tahu banyak tentang hartanya. Tapi aku tidak pernah terpikir untuk mencurangi
opung, dan tidak terpikir juga aku bakal dikecewakannya.
Berjuang
Kuliah
Awalnya, agak berat bagiku kembali Medan. Aku
takut kedatanganku bakal buat orang tuaku susah. Apalagi opung Papua sering
cerita kalau mama papa susah secara perekonomian dan terancam makan. Ternyata,
apa yang dikatakan opung tidak benar sepenuhnya. Meski memang sulit secara
ekonomi, keluargaku tidak pernah terancam makan. Saat melihat papa mamaku
gemuk, saudara-saudaraku semua sehat, aku sangat senang dan memutuskan bakal
menetap di Medan. Tapi, karena aku menggebu-gebu mau kuliah dan mama bilang
mereka tidak bisa kuliahkan aku kalau bukan ke negeri, buatku depresi berat.
Aku memang tipikal orang yang keras dan bisa
dibilang ambisius, kalau aku mau sesuatu, aku harus dapatkan. Karena semua
perguruan tinggi negeri sudah tutup, aku ngotot kuliah di swasta. Karena aku
mogok makan dan sakit keras, depresi berat, mama akhirnya memenuhi
permintaanku. Aku kuliah di STMIK Mikroskil ambil jurusan Sistem Informasi
Akuntansi, Medan.
Aku bertekad membuktikan bahwa aku bisa kuliah
dengan biaya sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku mulai kerja di pasar, bantu
tetanggaku jualan. Malam aku ngajar privat. Lama-kelamaan, akhirnya aku fokus
di bidang pendidikan. Malah, aku lebih mahir mengajarkan bahasa Inggris,
matematika, dan lainnya, ketimbang jurusanku sendiri komputer. Seraya waktu
berlalu, aku jadi orang yang matrealistis.
Aku ingat aku janji sama Cempaka bahwa aku akan
mencari Saksi Yehuwa di Medan dan memang sekali aku pernah jumpa sama Saksi.
Bertepatan saat itu adalah Om Morgan, saudara lansia yang sangat bersemangat
berdinas. Karena laki-laki, aku segan untuk memintanya mengajariku. Lalu,
kira-kira beberapa bulan kemudian, aku teringat akan majalah Sadarlah dan aku
rindu menyantap publikasi tersebut. Ku kirimlah surat ke Kantor Cabang lalu
dibalas dengan surat dan sebuah buku, buku Mendekatlah kepada Yehuwa.
Tak lama kemudian, datanglah sepasang suami istri
Saksi, Om Daud Tambunan dan istrinya, berkunjung ke rumah. Ternyata, merekalah
yang ditugaskan Kantor Cabang untuk menemuiku. Sayangnya, mama dan papa sangat
tidak suka Saksi. Mereka kurang menyambut tante dan om Tambunan. Aku pun
dilarang jumpa sama mereka. Aku akhirnya di kamar saja.
Kira-kira setengah tahun kemudian kalau tidak
salah, sekitar tahun 2010 aku berjumpa sepasang saudari mengabar ke rumah. Aku
lihat majalah mereka Sadarlah dan aku langsung berbicara dengan mereka. Mama
dan Papa secara tidak langsung mengusir mereka. Untungnya saat itu Kak Pelly
Sitanggang, salah satu dari mereka, meminta no ku. Dari situlah awal aku mulai
belajar Alkitab.
Guru
Alkitab Berganti-Ganti
Karena sibuk kuliah dan mengajar di les dan
sekolah, perhatianku untuk kebenaran tidak besar. Tapi, aku senang setiap kali
belajar. Hanya saja, untuk buat kemajuan rohani, aku belum bisa. Soalnya,
banyak hal yang harus ku tanggulangi, mulai dari bayar uang kuliah, cicilan
sepeda motor dan cicilan ini itu.
Hidupku benar-benar dililit dengan cicilan dan
orientasiku selalu materi. Tidak sampai 2 tahun belajar Alkitab sama Kak Pelly,
dia pindah ke Malaysia cari kerja. Lalu akupun vakum tidak belajar. Ya, karena
sibuk sama kerjaan dan kuliah, aku pun tidak mencari guru Alkitab lagi.
Untungnya, Kak Marta, partner Kak Pelly, berinisiatif nanya kabarku dan
menawariku belajar Alkitab. Lalu aku tanpa pikir panjang langsung terima.
Keluargaku tidak tahu kalau aku sedang belajar dengan Saksi. Aku selalu
beralasan akan kerja setiap minggu dan aku tidak pernah lagi ke gereja.
Tahun 2012 pertengahan, aku sudah mulai berhimpun
walau timbul tenggelam. Aku menyerap dan paham betul apa yang ku pelajari dan
aku tergerak untuk melakukan kehendak Yehuwa. Akan tetapi, aku belum bisa, aku
terhimpit sama biaya kuliah, dan banyak cicilan lainnya. Tapi aku berikrar
kepada Yehuwa. Dalam doaku sering ku sebut begini, "Allah Yehuwa, Engkau
mengetahui isi hatiku. Aku sangat ingin menjadi penyembahMu. Tapi Kau lihat
sendiri aku di sini masih sulit melepas bebanku. Aku sangat ingin, bila nanti
aku selesai kuliah dan dapat pekerjaan yang ku inginkan, aku kurangi waktuku
untuk dunia ini dan akan mengejar cita-cita rohaniku" Yehuwa menjawab
semua doaku. Belum tamat kuliah, aku langsung diterima di berbagai perusahaan.
Salah satunya Analisa. Tapi, aku tidak langsung mewujudkan ikrarku kepada
Yehuwa. Aku malah berpikir lagi untuk ambil S2 di luar negeri.
Dari kecil aku memang ingin sekali tinggal di
luar negeri misalnya di AS atau Australia. Itu sebabnya, aku suka bahasa
Inggris. Nyaris semua syarat untuk kuliah di luar negeri rampung. Aku melamar
ke tiga negara. Pertama, Taiwan. Kedua, Jepang. Ketiga, Australia. Namun, keadaan
keluargaku genting. Mama saat itu jatuh sakit dan aku malah terlihat sibuk sama
diriku sendiri. Saat mama bilang aku tidak perhatian samanya dan aku lebih
mengutamakan diri, terutama uang daripada dia, saat itu aku menangis dan
tersadar. Aku jadi ingat pelajaran Alkitab dan berbagai publikasi yang pernah
ku baca sebelumnya.
Aku merenungkan kehidupanku yang begitu ambisius
untuk mencari kesombongan diri. Aku menangis dan meminta ampun sama Bapak
Yehuwa karena aku dengan sengaja pura-pura lupa sama ikrarku. Sepanjang tahun
2013, aku berusaha untuk teratur berhimpun dan tahun 2014, saudari yang
mengajariku Alkitab sebelumnya, mengover aku ke Tante Tetje, istri penatua yang
sangat aku sayang dan paling mengerti aku. Aku menyerap banyak pelajaran dan
teladan darinya. Karena dorongan dia aku punya banyak cita-cita rohani.
Tantangan
Baptis
Setelah setahun studi dengan Tante Tetje, aku
menggebu-gebu menjadi penyiar. Kala itu aku sempat hampir tersandung akibat aku
kecewa permintaanku menjadi penyiar ditunda-tunda. Untungnya Tante Tetje dan
Kak Emi Candrawaty
dengan lembut memberikan keterangan kepadaku dan memintaku untuk bersabar.
Jujur, aku memanb ambisius dan merasa diriku sudah pintar dan kecewa dengan
penundaanku jadi penyiar. Aku merasa harga diriku direndahkan. Apalagi kala itu
aku jadi dosen, dan merasa diriku sudah hebat dibandingkan saudara-saudari
lain. Akulah yang angkuh dan tidak rendah hati. Untung aku tidak lama jadi
orang yang bebal dan angkuh. Aku kembali aktif di perhimpunan dan tak lama
kemudian jadi penyiar.
Kedua kalinya, aku juga hampir menyerah dan marah
sama penatua. Aku minta dibaptis di Kebaktian Regional 2015 tapi aku gak dikasi
kesempatan. Namun, aku tidak lagi berkeras dan akhirnya aku baptis di Kebaktian
Wilayah Oktober 2015. Kadang aku geli kalau ingat masa saat aku menggebu-gebu
ingin dibaptis. Lucu saja aku bisa menyalahkan penatua. Aku sadar aku keras
kepala dan bisa dibilang bebal.
Bersyukur, Bapa Yehuwa terus membentukku menjadi
tanah liat yang lembek yang siap Dia pakai. Bulan demi bulan meski banyak
tantangan di keluarga. Kakak-kakakku sudah pada bernikahan, aku merasa
bertanggung jawab besar untuk bantu keluarga. Karena papa punya kebiasaan pergi
ke kedai, sering kali dia lalai untuk menafkahi keluarga. Karena sudah bisa
bantu keluarga dan mandiri, aku merasa bisa 'bersuara' di rumah dan
terang-terangan bilang kalau aku adalah Saksi Yehuwa.
Ketika akan baptis aku memang permisi dan mama
marah samaku. Aku tidak peduli apa kata mereka. Yang aku tahu selama ini, aku
dapat banyak bantuan dari Allah Yehuwa dan aku memang lebih senang bergaul
dengan saudara-saudari. Sebulan setelah baptis, ada begitu banyak tantangan
yang ku hadapi. Banyak bila diceritakan satu per satu. Namun, ada banyak hal
juga yang mendorongku untuk meningkatkan kemajuan rohaniku, terutama melihat
teladan saudara/i. Pernah berkunjung ke Remote Translation Office (RTO), ke
sidang di Palembang, ke Malaysia dan ikut beberapa kebaktian di luar Medan, punya
dampak besar terhadap kerohanianku. Aku menyaksikan sendiri betapa Kerajaan Allah dalam doa yang Yesus
ajarkan dalam Doa Bapak Kami itu
sangat nyata-Lukas 11:2-4.
https://id.wikipedia.org/wiki/Doa_Bapa_Kami
Kira-kira bulan Juni 2016, aku memutuskan
berhenti dari sekolah dan mempertahankan satu pekerjaan. Aku memilih menjadi
Perintis Biasa. Tapi sebelum aku mengisi formulir PB, persis sehari sebelum aku
mengisi formulir tersebut pada 17 Agustus 2016 aku dijambret usai pulang
kantor. Namun, setelah sembuh akibat luka dijambret, aku langsung menandatangani
formulir PB. Pada Desember 2016, aku diumumkan masuk dalam barisan PB. Tidak
bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Aku senang sekaligus sedikit risau
dalam mengemban tanggung jawab baru ini dengan baik.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya, sejak kecil aku
sudah sangat mencintai Alkitab. Merasa beruntung mengenal nama Allah Jahowa di
Samosir. Mengenal Saksi Jahowa di Papua. Dan akhirnya menjadi Saksi Jahowa yang
berdomisili di Medan. Aku sadar bertahun-tahun aku banyak berkorban buat
manusia dan dikecewakan. Meski sudah memaafkan opungku yang tidak menepati
janjinya, aku jadi dapat pelajaran penting untuk tidak bersandar sepenuhnya
sama janji manusia. Aku juga belajar untuk tidak mudah buat janji sama orang,
apalagi untuk perkara yang serius. Aku bertekad berkorban banyak sama Bapak
Yehuwa karena selama ini, Dialah Pribadi yang sangat mengasihiku dan tidak
pernah mengecewakanku.
Dulu, aku sibuk mengejar perkara materi supaya
bisa bahagia dan aku lebih mendahulukan perkara materi ketimbang hal-hal
rohani. Namun, melihat banyak kehidupan orang, aku yakin kebenaran kata-kata di
AMSAL 10:22-”Berkat Yehuwa—itulah yang membuat kaya, dan ia tidak menambahkan
kepedihan hati bersamanya”. Aku sangat yakin bahwa dengan mengutamakan Kerajaan
Allah dan mengasihi Yehuwa dengan tulus, hidupku bakal bahagia.