Tampilkan postingan dengan label Corona. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Corona. Tampilkan semua postingan

Tak Izinkan Corona Hambat Kreativitasku

 


Per Maret 2020, Virus Corona menjadi populer bukan hanya di televisi bahkan sampai merambah ke seluruh pelosok Tanah Air. Tak terkecuali dampaknya sampai ke perkampungan yang tenang di Kampung Girsang 1. Pada akhir Maret, kewaspadaan terhadap penyebaran Virus Corona mendorong Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menginstruksikan agar proses belajar-mengajar secara fisik dihentikan. Sebagai guru honor bergaji kecil aku ikut terkena imbas Corona. Kegiatan belajar-mengajar harus dilakukan secara online atau daring. Sebelumnya aku bisa dapatkan penghasilan tambahan dengan mengajar les di sore. Karena Corona, aktivitas itu pun terpaksa dihentikan.

Apa yang harus ku lakukan sekarang? Tidak mungkin aku terus di rumah. Darimana penghasilan untuk menutupi bayar sewa rumah, listrik, air dan lainnya? pertanyaan itu terus muncul berkali-kali dalam benakku. Aku duduk di kursi dan ingat kenangan masa kecilku. Aku ingat semasa kecil aku tinggal di Samosir, bertani dan beternak. Aku ingat bagaimana nenek dan kakek membudidayakan cabe, jagung, ubi, padi dan lainnya. Dulu, aku juga menjaga kerbau. 


Sembari memikirkan pengalaman ini, aku merenungkan keuntungan hidup bertani. Saat di Samosir, aku ingat nenek-kakek jarang keluarkan duit untuk kebutuhan dapur. Sebab, kebutuhan dapur bisa diperoleh dari pekarangan dan ladang. Maka pikirku, Cocok ini! Aku harus mulai berkebun. Manfaatkan lahan di depan dan belakang rumah. Toh, aku pun sudah punya sedikit pengalaman dalam bidang ini


Bertani

Sebelum pandemi terjadi, seorang sahabat yang rumahnya ku sewa, pernah menawarkan lahannya untuk ku kerjakan. Aku segera hubungi dia dan bilang aku mau kerjakan lahannya. Sahabatku ini tidak yakin mengingat aku dari Medan. Tapi dia tetap mendukungku mengingat tidak ada pilihan pekerjaan lain yang bisa ku kerjakan. Dia pun mempersiapkanku dengan batang ubi kayu untuk ku tanam. Dia pastikan aku tidak heboh secara wacana tapi miskin dalam penerapan. Belakangan, dia lihat langsung apa yang ku tanam baik di pekarangan rumah dan di ladang.

Aku mengerjakannya sendirian. Sebab, aku tidak punya uang untuk menggaji orang. Lahan tersebut penuh dengan semak. Aku bingung bagaimana untuk memulainya. Aku bertanya kepada kawan yang sehari-harinya berkebun. Dia bilang aku harus beli pembasmi rumput dan akar dosis keras mengingat lahan tersebut sudah lama tidak dikerjakan. Ku putuskan untuk keluarkan biaya lumayan untuk membeli kebutuhan ke ladang seperti pembasmi rumput, sarung tangan, sepatu boot, masker, bibit dan peralatan untuk berladang lainnya. Aku tak ingin kerja setengah-setengah. Harus benar-benar total kerahkan upaya sekuat tenaga.

Ku mulai membersihkan semak dengan menyabit rumput atau tanaman yang tinggi hingga ke tanah. Butuh waktu seharian untuk menyelesaikannya. Lalu hari berikutnya aku menyemprot semua lahan dengan pembasmi rumput. Ku biarkan dua hari sesuai saran kawan hingga kering. Berikutnya, aku membakarnya total sampai lahan bersih. Aku senang sekali saat melihat lahan tersebut bersih. Tanpa pikir panjang, aku segera menanam. Ku tanam jagung, ubi jalar, ubi kayu, kopi, dan lainnya. Saking semangatnya, kawan-kawanku tertawa terbahak-bahak melihat hasil kerjaku. Mereka menilai sebaiknya tanaman itu cukup satu atau dua macam saja. Jangan banyak macam. 

Pada Juli akhir, aku sudah panen jagung sekalipun tidak maksimal. Tak seperti hasil panen tetangga. Tapi hasilnya bisa ku nikmati. Selebihnya, ku jadikan pakan ayam. Karena tenagaku seadanya, aku mulai tanam bibit jagung yang baru. Aku juga minta lahan di belakang sekolah tempatku mengajar untuk ku kerjakan. Aku tanam kacang merah.  Hanya butuh 2,5 bulan menunggu tanaman tersebut menghasilkan panen. Pertengahan Agustus aku sudah memanennya. Bertepatan saat itu datang kerabat dari Medan, aku langsung berikan dua kilo ke mereka. Aku bangga bisa berikan karya tanganku ke mereka. Mereka menghargainya sambil nyeletuk, "Kapannya kau belajar bertani? 


Beternak

Setelah menanam jagung, aku merasa siap untuk beternak ayam. Bagiku hewan itu yang paling mungkin ku budidayakan di belakang rumah. Sebelum beternak, aku sudah banyak baca bahan di internet tentang budidaya ayam. Aku cari tips mulai dari membuat kandang ayam berbiaya rendah, pakan alternatif ayam yang hemat, upaya mencegah penyakit pada ayam dan cara menangani penyakit ayam. Karena merasa persiapanku sudah matang, aku segera menjalankannya.

Aku meminta bantuan seorang Paman yang adalah tetangga dekat rumah. Dia dengan baik hati membantuku untuk membuatkan kandang ayam berupa kotak kecil. Bahannya memakan biaya lumayan bagiku. Sekitar 2juta. Lain lagi ayam yang ku beli 23 ekor untuk tahap awal. 

Gairahku untuk selalu belajar terus mengalir. Aku ikut beberapa komunitas peternak ayam di sosial media. Hingga akhirnya aku tertarik untuk mencoba budidaya maggot untuk pakan ayam. Bertepatan sekali seorang kawan punya usaha buah di Pasar Tiga Raja. Aku permisi sama dia untuk menampung buah-buahan yang busuk. Tiap Sabtu aku menjemput buah busuk untuk ku jadikan pakan maggot. Aku sudah coba dan terbukti. Pakan dari maggot mampu meningkatkan bobot daging ayam. Itu salah satu upayaku untuk memanfaatkan apa yang di alam, mendaur ulang sumber daya ada.

Meningkatkan Peluang

Aku semakin tertantang untuk meningkatkan peluang dan potensi di desa. Aku suka kopi. Sebenarnya sudah lama aku ingin serius mengolah kopi. Karena di desaku rata-rata masyarakat membudidayakan kopi, ku pikir tepat sekali bila aku mendalaminya. Lagi,  selama Corona aku punya waktu banyak untuk mengolah kopi dari pasca panen hingga menjadi kopi bubuk. Modal pengetahuan dari teman dan sumber lainnya, buatku berhasil membuat kopi. Bagiku rasanya lebih nikmat ketimbang yang dijual di Pasar karena aku memilih biji kopi terbaik. Sesekali aku menjualnya kepada kawan-kawan. Itulah lagi satu hobi yang ku gandrungi selama Corona yang menghasilkan duit.

Hal menarik lagi yang ku lakukan selama Corona yakni jadi buruh panen padi. Selama bulan Juli hingga Agustus adalah musim panen padi. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk mengulang kembali kenangan masa kecilku. Ku ingat aku sangat menyukai masa-masa dimana banyak kawan berkumpul saling membantu untuk panen padi. Dalam bahasa Batak Toba disebut Marsidapari. Kegiatan ini jadi caraku untuk menangkal perasaan jenuh selama pandemi. Tidak hanya mengusir rasa jenuh, aku pun dapat uang masuk selama krisis pendapatan akibat Corona.

Beruntung sekali kawan kerja di sekolah punya lahan padi. Saat aku menawarkan diri untuk panen padi, dia ragu. Dia bilang nanti aku gak sanggup. Tapi akhirnya dia dengan senyumnya melirikku sambil berkata, "Kalau kau serius mau ikut panen, datanglah besok pagi ke rumahku ya". Dengan semangat berapi-api besoknya aku menjumpainya di rumah. Lalu kami ke sawah menyabit padi. Seharian kami menyabit padi. Gajiku sehari Rp. 60ribu. Aku bekerja selama 2 hari. Di hari kedua kami membanting padi, membersihkannya, memasukkannya ke karung dan membawanya ke rumah. Seru sekali! Aku sangat menikmati momen tersebut. 

Karena ikut memanen padi, wawasanku terhadap desa tempatku tinggal bertambah. Sebab, baru 6 bulan aku pindah ke Kampung Girsang 1. Aku belum pernah berjalan ke seluruh lokasi di sini. Secara khusus, ke puncak gunung yang mengelilingi desa ini. Aku berdecak kagum melihat keindahan desa ini. Beruntung sekali, ada 2 kawan lagi yang juga panen padi mengajakku ikut panen, aku bisa menjelajahi banyak lokasi di Kampung Girsang 1 ini.

Aku jadi tahu potensi sumber daya alam di desa ini. Aku melihat masih ada kampung dengan Rumah Batak. Ada mata air yang mengairi sawah. Mata air itupun memenuhi sungai yang dipakai masyarakat setempat. Di puncak gunung, aku bisa memandang Danau Toba yang begitu indah. Aku pun tidak melewatkan kesempatan untuk mendokumentasikannya. Karena aku juga hobi fotografi.

Belakangan, ada seorang kakak yang mengajakku untuk menggali potensi desa. Dia kelahiran Desa Girsang 1 yang menikah dengan seorang pria di Inggris. Dia baik hati. Bulan April saat Pemerintah mengumumkan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar, dia memberikan bantuan kepada warga desa, termasuk kepada saya warga baru, bantuan berupa sembako. Karena tersentuh dengan kebaikannya, aku tertarik dengannya dan programnya untuk membantu masyarakat desa.

Aku masih tetap bertani dan beternak hingga sekarang. Tapi aku punya tugas tambahan lain untuk saat ini, menggali potensi Kampung Girsang untuk dijadikan Desa Wisata. Semoga upaya Kak Norma, wanita yang ku sebut tadi, bisa ku bantu semampuku. Sebab, programnya ini akan membantu meningkatkan kemampuan masyarakat desa menghadapi ekonomi yang semakin sulit. Ekonomi memang melesu akibat pengaruh Corona. Belum tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Sekalipun ekonomi saat ini masih lesu, wisatawan sepi, bukan berarti tidak masuk akal bahas desa wisata. Aku terus ingin belajar, meriset, lakukan ini itu. Aku tak izinkan Corona menghambat kreativitas dan kebahagianku!
























Tantangan Sekolah Selama Covid-19




Per Maret 2020, mendadak pandemi Virus Corona menjadi populer bukan hanya di televisi bahkan sampai merambah ke seluruh pelosok Tanah Air. Tak terkecuali dampaknya sampai ke perkampungan yang tenang di Kampung Girsang 1. Pada akhir Maret, kewaspadaan terhadap penyebaran Virus Corona mendorong Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menginstruksikan agar proses belajar-mengajar secara fisik dihentikan. Kegiatan belajar-mengajar harus dilakukan secara online atau daring. 


Hal ini mengakibatkan kebingungan bagi para murid dan orang tua. Terlebih bagi para guru dan kepala sekolah. Untuk pertama kalinya kasus seperti ini terjadi. Tidak ada yang memprediksi hal ini akan terjadi. Tidak ada persiapan untuk menghadapi kondisi tersebut. Pembelajaran daring menimbulkan tantangan, khususnya bagi mereka yang tidak terbiasa menggunakan sejumlah aplikasi tertentu. 


Tantangan Daring

Karena sudah menjadi keharusan, kami guru-guru SD 66 mengerahkan upaya untuk membiasakan diri menggunakan aplikasi WhatsApp untuk melakukan proses belajar-mengajar daring. Pada Maret, kami sibuk mempersiapkan semua hal berhubungan dengan belajar secara daring. Mulai dari mengumpulkan nomor WhatsApp orang tua murid, membuat tugas daring, mengunggah tugas hingga menilai tugas. 


Kegiatan ini juga membuat para orang tua dan murid harus menerima kebiasaan baru. Orang tua yang selama ini sibuk berladang, terpaksa harus turun tangan mendampingi anak mereka untuk belajar dan membantu mengirim jawaban mereka ke WhatsApp grup. 


Tantangan lain, beberapa dari mereka tidak punya handphone Android, tidak tahu harus bagaimana supaya anak mereka dapat mengikuti pelajaran di sekolah. Ada yang tinggal dimana sinyal internet tidak ada. Lantas, apa yang dapat kami lakukan? 

Kami sepakat agar para murid tersebut menjemput tugas mereka yang sudah disediakan guru tiap bidang studi. Setelah itu, mereka akan menjawabnya  di masing-masing buku per bidang studi. Buku itu dikumpul tiap akhir bulan. Dengan demikian, meminimalkan kontak fisik guna menghindari penyebaran Virus Corona. 


Serba-Serbi

Bagiku sendiri, belajar secara daring tak hanya menimbulkan tantangan. Juga, memunculkan beberapa hal lucu. Salah satunya, sering sekali anak yang rajin dan pintar menjadi bahan contekan bagi kawan mereka. Sebut saja si A. Jika si A posting tugasnya, seketika itu juga teman di grup akan beramai-ramai meniru tugas yang dia posting di grup. Oleh karena itu, aku menyarankan agar tugas mereka dikirim melalui jalur pribadi ke akun WhatsAppku. 


Sering sekali saat hendak memberikan tugas, aku terbentur pada fakta bahwa apa yang dapat dipahami muridku terbatas, mengingat penjelaskanku hanya sebatas tulisan. Apalagi yang ku ajarkan Matematika, sesuatu yang harus dijelaskan secara gamblang, tidak bisa dipahami hanya dengan membaca atau mendengarkan saja. Harus ada latihan. Inginku buat video kreatif mengajar Matematika. Namun, apa daya ku pertimbangkan kembali kemampuan orang tua untuk beli paket data dan bandwith internet di Kampung Girsang 1. Jadi ku putuskan untuk memberikan tugas yang mudah dan tidak menjejali mereka dengan tumpukan tugas. 


Ajaran Baru

Memasuki tahun ajaran baru, muncul perubahan lagi. Semester sebelumnya, pemberian tugas melalui WhatsApp kami berikan dari rumah. Tetapi, tahun ajaran baru, Dinas Pendidikan menginstruksikan agar guru-guru wajib ke sekolah untuk memberikan tugas secara daring. 

Persoalan baru yakni bagaimana mengajari siswa baru kelas 1 yang belum bisa membaca dan menulis? 


Kepala sekolah kami, Bu Rosmawaty Sinaga dan Guru kelas 1 Bu Rajaguk-guk sepakat untuk mengadakan proses belajar-mengajar secara fisik di rumah anak masing-masing. Bu Rajagukguk terpaksa melanggar aturan pemerintah untuk menjaga jarak fisik. Namun, ia tetap mengikuti protokol kesehatan lainnya seperti menggunakan masker dan cuci tangan. Dia berjalan kaki ke rumah-rumah murid untuk mengajar mereka membaca dan menulis. Kegiatan ini ia lakukan tiap hari kecuali Sabtu dan Minggu. 


Bu Rajagukguk bercerita terkait kondisi Corona ini membuatnya kelelahan ketimbang sebelumnya. Soalnya, dia harus menempuh perjalananan cukup jauh menuju rumah siswa. Dia sendiri tidak punya kendaraan. Kadang kala, saat ia ke rumah murid, ia tidak menjumpai murid tersebut. Biasanya hal ini terjadi karena orang tua mereka tidak mengawasi anak mereka di rumah. Orang tua sibuk berladang, anak mereka bermain kesana-kemari. Tapi ada juga orang tua yang menyempatkan waktu mereka untuk menemani anak mereka belajar. 


"Pergi aku ke rumah si Purba, tidak ada dia di rumah. Mamanya pun gak ada di rumah. Mungkin sudah ke ladang. Sudah ku cari kesana-kemari, gak nampak dia. Capek aku, "kata Bu Rajagukguk kepada kami di Kantor Kepsek. 


Saat berkumpul, seperti biasa, kami para guru berbagi cerita satu sama lain. Ku awali dengan cerita tentang beberapa anak yang tidak pernah mengumpulkan tugasnya sama sekali. Sudah beberapa kali aku menyempatkan diri singgah ke rumah mereka agar mereka datang ke sekolah menjemput tugas mereka. Aku juga minta tolong kepada orang tua mereka agar menyuruh anak mereka ke sekolah menjemput tugas dan bila mungkin segera menyelesaikannya di sekolah. 


Karena sudah jenuh dengan pembelajaran daring yang kurang efektif dan merasa bersalah dengan keadaan pembelajaran yang tidak dapat kami kendalikan, kami para guru mengusulkan kepada kepala sekolah agar pembelajaran dilakukan secara fisik dengan pengaturan baru. 1 kelas dibagi menjadi 2 atau 3 gelombang. Sebab, kawasan Simalungun, khususnya Desa Girsang 1, tidak masuk daftar zona merah. Namun, ide ini tidak bisa dijalankan kata Kepala Sekolah mengingat beberapa pertimbangan. Kami pun tetap mengikuti petunjuk pemerintah. 

Memetik Pelajaran

Meskipun mengajar menjadi sulit karena Corona, ada beberapa hal yang masih bisa ku syukuri sebagai guru. Selama ini, orang tua mungkin tidak tahu betapa sulit dan lelahnya mengajar dan mendidik anak mereka, semoga kondisi ini membuat pikiran mereka terbuka tentang beban berat yang dijalankan guru. 


Selama Corona ini, kami hanya dapat berfokus pada apa yang bisa kami lakukan. Kami tidak bisa mengubah keputusan Menteri maupun Dinas Pendidikan. Kami guru berharap orang tua bersinergi bersama kami, sama-sama mendidik anak-anak. Bila anak-anak mereka tampaknya tidak bisa memahami pelajaran tertentu atau kewalahan dengan tugas, bantu mereka. Sebab, sejatinya yang punya peran utama dalam mendidik anak adalah orang tua. Mereka perlu diawasi, disemangati, dan dibimbing mengerjakan tugas mereka. 


Saran lain yang bisa kami kemukakan tertuju kepada perusahaan provider jaringan telekomunikasi. Fakta berlakunya pembelajaran daring menjadi momentum penting untuk dipikirkan perusahaan provider, yakni membantu masyarakat khususnya guru dan murid dapat menikmati pembelajaran daring di daerah terpencil seperti di Kampung Girsang 1.


Sejak belajar daring berlaku Maret lalu, sudah 2 kali saya ganti provider untuk mencari sinyal provider mana yang paling kencang dan stabil. Pertama saya pakai Telkomsel lalu Axis, dan ada rencana ganti lagi sebab di jam-jam tertentu, apalagi saat listrik mati, sinyal internet Telkomsel dan Axis terputus.  


Perusahaan-perusahaan provider perlu menggaet para pemangku kepentingan di bidang pendidikan dan pengusaha teknologi informasi (TI) dengan tujuan meningkatkan melek teknologi dan internet masyarakat, khususnya bagi kami guru dan orang tua murid yang tinggal di pedalaman. Fakta tidak semua warga di Indonesia, khususnya di kampung seperti kami, mampu menguasai perkembangan teknologi. Tapi kami siap untuk belajar dan diajar.


Saya secara pribadi juga mempertanyakan peran Dewan TIK yang dibentuk tahun 2014. Saya membaca di Wikipedia Dewan tersebut dibentuk dengan tujuan mengembangkan e-leadership dan melakukan koordinasi seluruh elemen bangsa melalui peningkatan kualitas prasarana serta sarana TI dan pengembangan inovasi. Maaf, bukannya mempersalahkan. Pengamatan saya selama ini peran Dewan TIK belum maksimal dalam penerapan praktis di masing-masing daerah yang tersebar di Indonesia dan secara khusus ke institusi pendidikan. 


*Penulis adalah Guru Matematika di SD 091466 Kampung Girsang 1, Simalungun.


Easy Go Tour Travel Offers the Cheapest Packages to Explore Lake Toba

   Detail Information about the destinations Talking about Lake Toba is not limited to its waters. Lake Toba has many untold riches. One of ...