Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Hutanku, Masa Depanku

HUTAN GIRSANG 1: Pemandangan Hutan Girsang 1. Suara Siamang (Imbo) sering bersahut-sahutan di dalam hutan ini. Karena hutan sangat lebat, udara sejuk, segar dan pemandangan asri.

Tantangan Sekolah Selama Covid-19




Per Maret 2020, mendadak pandemi Virus Corona menjadi populer bukan hanya di televisi bahkan sampai merambah ke seluruh pelosok Tanah Air. Tak terkecuali dampaknya sampai ke perkampungan yang tenang di Kampung Girsang 1. Pada akhir Maret, kewaspadaan terhadap penyebaran Virus Corona mendorong Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menginstruksikan agar proses belajar-mengajar secara fisik dihentikan. Kegiatan belajar-mengajar harus dilakukan secara online atau daring. 


Hal ini mengakibatkan kebingungan bagi para murid dan orang tua. Terlebih bagi para guru dan kepala sekolah. Untuk pertama kalinya kasus seperti ini terjadi. Tidak ada yang memprediksi hal ini akan terjadi. Tidak ada persiapan untuk menghadapi kondisi tersebut. Pembelajaran daring menimbulkan tantangan, khususnya bagi mereka yang tidak terbiasa menggunakan sejumlah aplikasi tertentu. 


Tantangan Daring

Karena sudah menjadi keharusan, kami guru-guru SD 66 mengerahkan upaya untuk membiasakan diri menggunakan aplikasi WhatsApp untuk melakukan proses belajar-mengajar daring. Pada Maret, kami sibuk mempersiapkan semua hal berhubungan dengan belajar secara daring. Mulai dari mengumpulkan nomor WhatsApp orang tua murid, membuat tugas daring, mengunggah tugas hingga menilai tugas. 


Kegiatan ini juga membuat para orang tua dan murid harus menerima kebiasaan baru. Orang tua yang selama ini sibuk berladang, terpaksa harus turun tangan mendampingi anak mereka untuk belajar dan membantu mengirim jawaban mereka ke WhatsApp grup. 


Tantangan lain, beberapa dari mereka tidak punya handphone Android, tidak tahu harus bagaimana supaya anak mereka dapat mengikuti pelajaran di sekolah. Ada yang tinggal dimana sinyal internet tidak ada. Lantas, apa yang dapat kami lakukan? 

Kami sepakat agar para murid tersebut menjemput tugas mereka yang sudah disediakan guru tiap bidang studi. Setelah itu, mereka akan menjawabnya  di masing-masing buku per bidang studi. Buku itu dikumpul tiap akhir bulan. Dengan demikian, meminimalkan kontak fisik guna menghindari penyebaran Virus Corona. 


Serba-Serbi

Bagiku sendiri, belajar secara daring tak hanya menimbulkan tantangan. Juga, memunculkan beberapa hal lucu. Salah satunya, sering sekali anak yang rajin dan pintar menjadi bahan contekan bagi kawan mereka. Sebut saja si A. Jika si A posting tugasnya, seketika itu juga teman di grup akan beramai-ramai meniru tugas yang dia posting di grup. Oleh karena itu, aku menyarankan agar tugas mereka dikirim melalui jalur pribadi ke akun WhatsAppku. 


Sering sekali saat hendak memberikan tugas, aku terbentur pada fakta bahwa apa yang dapat dipahami muridku terbatas, mengingat penjelaskanku hanya sebatas tulisan. Apalagi yang ku ajarkan Matematika, sesuatu yang harus dijelaskan secara gamblang, tidak bisa dipahami hanya dengan membaca atau mendengarkan saja. Harus ada latihan. Inginku buat video kreatif mengajar Matematika. Namun, apa daya ku pertimbangkan kembali kemampuan orang tua untuk beli paket data dan bandwith internet di Kampung Girsang 1. Jadi ku putuskan untuk memberikan tugas yang mudah dan tidak menjejali mereka dengan tumpukan tugas. 


Ajaran Baru

Memasuki tahun ajaran baru, muncul perubahan lagi. Semester sebelumnya, pemberian tugas melalui WhatsApp kami berikan dari rumah. Tetapi, tahun ajaran baru, Dinas Pendidikan menginstruksikan agar guru-guru wajib ke sekolah untuk memberikan tugas secara daring. 

Persoalan baru yakni bagaimana mengajari siswa baru kelas 1 yang belum bisa membaca dan menulis? 


Kepala sekolah kami, Bu Rosmawaty Sinaga dan Guru kelas 1 Bu Rajaguk-guk sepakat untuk mengadakan proses belajar-mengajar secara fisik di rumah anak masing-masing. Bu Rajagukguk terpaksa melanggar aturan pemerintah untuk menjaga jarak fisik. Namun, ia tetap mengikuti protokol kesehatan lainnya seperti menggunakan masker dan cuci tangan. Dia berjalan kaki ke rumah-rumah murid untuk mengajar mereka membaca dan menulis. Kegiatan ini ia lakukan tiap hari kecuali Sabtu dan Minggu. 


Bu Rajagukguk bercerita terkait kondisi Corona ini membuatnya kelelahan ketimbang sebelumnya. Soalnya, dia harus menempuh perjalananan cukup jauh menuju rumah siswa. Dia sendiri tidak punya kendaraan. Kadang kala, saat ia ke rumah murid, ia tidak menjumpai murid tersebut. Biasanya hal ini terjadi karena orang tua mereka tidak mengawasi anak mereka di rumah. Orang tua sibuk berladang, anak mereka bermain kesana-kemari. Tapi ada juga orang tua yang menyempatkan waktu mereka untuk menemani anak mereka belajar. 


"Pergi aku ke rumah si Purba, tidak ada dia di rumah. Mamanya pun gak ada di rumah. Mungkin sudah ke ladang. Sudah ku cari kesana-kemari, gak nampak dia. Capek aku, "kata Bu Rajagukguk kepada kami di Kantor Kepsek. 


Saat berkumpul, seperti biasa, kami para guru berbagi cerita satu sama lain. Ku awali dengan cerita tentang beberapa anak yang tidak pernah mengumpulkan tugasnya sama sekali. Sudah beberapa kali aku menyempatkan diri singgah ke rumah mereka agar mereka datang ke sekolah menjemput tugas mereka. Aku juga minta tolong kepada orang tua mereka agar menyuruh anak mereka ke sekolah menjemput tugas dan bila mungkin segera menyelesaikannya di sekolah. 


Karena sudah jenuh dengan pembelajaran daring yang kurang efektif dan merasa bersalah dengan keadaan pembelajaran yang tidak dapat kami kendalikan, kami para guru mengusulkan kepada kepala sekolah agar pembelajaran dilakukan secara fisik dengan pengaturan baru. 1 kelas dibagi menjadi 2 atau 3 gelombang. Sebab, kawasan Simalungun, khususnya Desa Girsang 1, tidak masuk daftar zona merah. Namun, ide ini tidak bisa dijalankan kata Kepala Sekolah mengingat beberapa pertimbangan. Kami pun tetap mengikuti petunjuk pemerintah. 

Memetik Pelajaran

Meskipun mengajar menjadi sulit karena Corona, ada beberapa hal yang masih bisa ku syukuri sebagai guru. Selama ini, orang tua mungkin tidak tahu betapa sulit dan lelahnya mengajar dan mendidik anak mereka, semoga kondisi ini membuat pikiran mereka terbuka tentang beban berat yang dijalankan guru. 


Selama Corona ini, kami hanya dapat berfokus pada apa yang bisa kami lakukan. Kami tidak bisa mengubah keputusan Menteri maupun Dinas Pendidikan. Kami guru berharap orang tua bersinergi bersama kami, sama-sama mendidik anak-anak. Bila anak-anak mereka tampaknya tidak bisa memahami pelajaran tertentu atau kewalahan dengan tugas, bantu mereka. Sebab, sejatinya yang punya peran utama dalam mendidik anak adalah orang tua. Mereka perlu diawasi, disemangati, dan dibimbing mengerjakan tugas mereka. 


Saran lain yang bisa kami kemukakan tertuju kepada perusahaan provider jaringan telekomunikasi. Fakta berlakunya pembelajaran daring menjadi momentum penting untuk dipikirkan perusahaan provider, yakni membantu masyarakat khususnya guru dan murid dapat menikmati pembelajaran daring di daerah terpencil seperti di Kampung Girsang 1.


Sejak belajar daring berlaku Maret lalu, sudah 2 kali saya ganti provider untuk mencari sinyal provider mana yang paling kencang dan stabil. Pertama saya pakai Telkomsel lalu Axis, dan ada rencana ganti lagi sebab di jam-jam tertentu, apalagi saat listrik mati, sinyal internet Telkomsel dan Axis terputus.  


Perusahaan-perusahaan provider perlu menggaet para pemangku kepentingan di bidang pendidikan dan pengusaha teknologi informasi (TI) dengan tujuan meningkatkan melek teknologi dan internet masyarakat, khususnya bagi kami guru dan orang tua murid yang tinggal di pedalaman. Fakta tidak semua warga di Indonesia, khususnya di kampung seperti kami, mampu menguasai perkembangan teknologi. Tapi kami siap untuk belajar dan diajar.


Saya secara pribadi juga mempertanyakan peran Dewan TIK yang dibentuk tahun 2014. Saya membaca di Wikipedia Dewan tersebut dibentuk dengan tujuan mengembangkan e-leadership dan melakukan koordinasi seluruh elemen bangsa melalui peningkatan kualitas prasarana serta sarana TI dan pengembangan inovasi. Maaf, bukannya mempersalahkan. Pengamatan saya selama ini peran Dewan TIK belum maksimal dalam penerapan praktis di masing-masing daerah yang tersebar di Indonesia dan secara khusus ke institusi pendidikan. 


*Penulis adalah Guru Matematika di SD 091466 Kampung Girsang 1, Simalungun.


Pendidikan Salah Kaprah


Fotoku bersama adek-adek dan kawan-kawan dari Malaysia. Sekalipun berbeda bangsa, bahasa dan kebudayaan, Bapak dan Allah kami sama. Allah kami bernama Yehuwa. Pendidik teragung dan paling cerdas di alam semesta.


Apa yang buat aku semakin yakin bahwa akan semakin banyak orang menuju Gunung Rumah Yehuwa/Jahowa.

Salah satu alasannya adalah orang-orang akan sadar bahwa pendidikan dunia itu Pendidikan Salah Kaprah!

Salah kaprah karena anak-anak diajarkan untuk selalu jadi no 1. Apa saja dilakukan sekalipun curang demi dapat nilai dan prestasi bagus. Mau nyontek, mau nyogok, mau hal curang apapun dilakukan demi raport atau IPK bagus. Beda banget dengan ajaran Yesus yang selalu utamakan mengalah dan jujur dalam segala hal.

Salah satunya buat ujian nasional. Sampai-sampai ada polisi pula yang ngawas. Eh tahu-tahu, di balik layar, kunci jawaban beredar. Diperdagangkan pula itu! Inilah yang buat aku dilema jadi guru. Berhentilah aku mengajar di sekolah, tergangu hati nuraniku. Lain lagi tuntutan kurikulum yang entah apa-apa, semua hanya bersifat tertulis dan tak sesuai kenyataan. Ah..pendidikan sekolah mah lebih diorientasikan jadi lahan bisnis. Cek saja di sekolah-kampus, mulai dari pengadaan buku, peralatan, dsb.

Lain lagi kondisi sekolah sekarang. Sifat manusia zaman sekarang menggenapi kali nubuatan 2 Timotius 3:1-5. Mau pendidik, mau murid, sama saja---kebanyakan gak beres. Ada yang ke sekolah atau ke kampus tujuan mau bergaya atau pacaran. Ada lagi sekadar sekolah yang penting punya ijazah dan bisa lamar kerja. Eh tahu2 sudah punya ijazah gak dapat kerjaan pula. S1 dan S2 pula gak dapat2 kerja. Kok bisa? Karena tujuan kuliah hanya mau dapat ijazah, bukan keterampilan dan bekal pengetahuan.

Pendidik di sekolah dan kampus juga sama kondisinya. Mengajar demi gaji tiap bulan. Kalau bisa dapat persenan dari pendaftaran murid atau buku. Apalagi sifat anak-anak makin parah, ya makin cueklah guru. Daripada dilaporin murid dan ortu ke polisi kalau didisplin mending diam-diam saja yang penting gaji jalan. Itulah juga buatku dilema sebagai guru.

Lain lagi proyek sekolah entah apa-apa. Ganti Menteri Pendidikan ganti kurikulum. Ganti buku, ganti ini itu demi proyek yang bisa datangkan uang masuk bagi mereka-mereka pejabat dkk. Kalau bisa, apa saja digarap yang penting tiap saat ada uang masuk. Dan mereka gak benar-benar terpanggil jadi pendidik, yang penting HEPENG.

Maka gak heran kalau guru pun tidak ada lagi yang benar-benar mengabdi dan idealis. Sebab, dari atasan sampai bawahan hampir sama. Sama-sama punya tujuan matrealistis. Maka gak heran sekolah dan kampus hanya menghasilkan produk-produk gagal. Gagal sebab anak murid dan kampus entah bagaimana wujudnya. Susah awak mendeskripsikannya.

Ini beda sekali dengan Organisasi Yehuwa. Alkitab gak pernah ganti kurikulum. Gak ada celah sedikit pun untuk korupsi di Organisasi Yehuwa. Semua pekerjanya adalah pekerja sukarela. Kalau punya motif-motif tertentu, cepat atau lambat toh Allah Yehuwa bakal singkapkan.

Upah jadi pekerja sukarela juga jauh lebih gede ketimbang jadi guru atau dosen di sekolah. Jaminannya di Matius 6:33. Kalau gak coba terjun langsung mana bisa yakin itu kata2 benar. Punya kehidupan bahagia zaman sekarang, upah pasti di masa depan.

So, buat apa lagi sibukkan diri sama Pendidikan Salah Kaprah! Yuk melamar jadi Pekerja Yehuwa. Mumpung masih ada sisa waktu, masih bisa berbuat. Kita berikan yang terbaik buat Bapak Sorgawi kita! Yuk!

Samosir Pilihan Terbaik bagi Kamu Berpetualang Jelajahi Eksotisme Danau Toba

Danau Toba sangat luas. Terdiri dari 8 kabupaten. Jika kamu hanya punya libur dua hari rasanya tak cukup untuk eksplorasi banyak hal di Dana...