Beberapa hari di Samosir minggu lalu, aku gak kuasa menahan langkahku melihat rumah Inang Namatua, Rumah Genteng. Rumah itu kini sekarang lebih keren. Katanya itu program bedah rumah. Aku masih ingat kenangan manis bersama Inang bercerita dan berdoa bersama. Dia yang ajarkan aku berdoa kepada Amang Jahowa dalam Doa Hata Haporseaon.
Rumah Inang, Rumah Genteng, di Hutaraja, Lumban Suhi-Suhi |
Aku juga langkahkan kakiku ke SD di Lumban Pasir Alngit. Di sinilah, 23 tahun silam aku selalu menantikan Bu Sitorus menceritakan kisah Musa, Abraham, Daud, Nuh, dan tokoh Alkitab lainnya. Cerita itu sungguh hidup sampai-sampai aku bisa membayangkan bagaimana Musa membelah Laut Merah dengan tongkatnya.
Aku bayangkan Danau Toba yang berada
persis dekat dengan sekolahku, terbelah dan aku bisa berjalan kaki di Danau
menuju seberang. Aku ingat itu. Cintaku terhadap Bapak Yehuwa bermula di sini.
Aku yakin janji bahwa orang mati akan bangkit (hidup) kembali pasti terjadi.
Karena itu janji dari Dia, Bapak Jahowa.
Aku ingat tiap pergi dan pulang
sekolah aku harus mengurus kerbau. Aku ingat aku selalu rindu mandi di Danau
Toba. Aku ingat aku senang mengambil tanaman orang lain maksudnya mencuri
bersama kawan-kawanku di Desa Lumban Suhi-Suhi Hutaraja..haha.
SD di Alngit |
Saat aku melihat ladang, aku ingat
masa kecilku tinggal di Samosir. Dulu, kalau pulang sekolah aku harus singgah
ke ladang mencangkul atau jaga padi supaya gak dimakanin burung. Waktu itu aku
merasa seperti berada di bawah penjajahan Jepang.
Aku sama sekali tidak menikmati kerja
di ladang. Soalnya sudah panas, banyak ulat, lipan, dan terkadang tekstur tanah
yang mau dicangkul itu padat karena tanah liat. Benci sekali kalau opung teriak
kerja, kerja, kerja! Kayak sekarang ni Jokowi suka bilang. Slogannya buatku
ingat kata-kata opungku. Karena malasnya mencangkul, siasat licik yang ku buat
sama opung itu izin untuk minum.
"Opung...aku minum ya."
Aku bersyukur sekali pernah tinggal di
Samosir. Kenangan itu sampai sekarang masih terekam di memoriku. Aku bahkan
masih ingat perincian banyak hal semasa kecil. Ingat semua orang di kampung
semasa aku kecil. Beberapa masih mengenali wajahku.
Hutaraja Lumban Suhi-Suhi, Samosir |
Tapi. Ada satu hal yang sangat ku
rasakan berbeda saat bermalam, udara tidak lagi sesejuk dulu. Aku malah merasa
Girsang 1 jauh lebih sejuk dan dingin. Kadang aku harus pakai 2 selimut di
Girsang. Ketika di Samosir, hanya pakai sarung. Itupun sekadar saja, bukan
karena dingin.
Aku bertanya dalam hati. Besoknya ku
lihat bagian belakang Hutaraja. Ternyata pohon-pohon kemiri dan hariara
berukuran besar dulu tempat kami manjat sudah ditebang. Ku lihat di sana
dibangun Homestay. Di tempat lain, begitu juga ku bandingkan 23 tahun lalu. Ada
beberapa pohon tak lagi di situ. Aku tahu betul sebab dulu hobi manjat..
Mangga
Samosir punya opung dan tetangga juga gak seperti dulu. Buahnya tidak rimbun.
Hanya muncul sedikit di beberapa ranting. Itupun kecil. Hampir seukuran telur
ayam kampung. Ku coba cicipi mangga yang jatuh, ada yang enak. Tapi banyakan tidak
enak. Tidak seperti yang pernah ku makan semasa aku SD.
Homestay di Hutaraja |
Sebenarnya,
tahun-tahun sebelumnya tiap berkunjung kesini, aku juga merasakan demikian.
Tapi baru kali ini aku ingin menulisnya. Tidak lain dan tidak bukan lagi kenapa
temperatur di sana lebih hangat ketimbang Girsang, tentulah karena pohon-pohon
sudah berkurang. Soal mangga, aku tak tahu. Siapa tahu ada teman yang tahu apa
'resep' tuk mengatasi penyakit mangga Samosir.
JW.ORG/BBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan isi formulir