Tampilkan postingan dengan label warga Sumut. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label warga Sumut. Tampilkan semua postingan

Kampung Girsang 1, Girsang Sipanganbolon

 

Kampung Girsang 1 berada di Kabupaten Simalungun dekat dengan Parapat. Sekitar 1 km dari Kota Parapat, sebelum melewati Jembatan Sisera-sera sebelah kiri. Waktu tempuh hanya 7 menit dari Pantai Bebas.


Sejarah Kampung Girsang 1

Berdasarkan cerita dan temuan dari berbagai sumber menyatakan bahwa Kampung Girsang 1 merupakan kampung marga Sinaga kedua setelah Urat, Samosir. Ada tiga keturunan dari Sinaga Bonor yang pergi ke Parapat. Tiga di antaranya yakni Bonar Pande atau Porti, Tiang Ni Tonga atau Sidahapitu, Suhut Ni Huta atau Sangkal Horbo. Dari ketiga keturunan tersebut, keturunan Suhut Ni Huta yang beranakcucu dan bertambah banyak di Kampung Girsang 1. Salah satu dari empat anak  Suhut Ni Huta yang paling mendominasi yakni Sorak Maunok.

Awalnya Sorak Maunok berdiam di Sibaganding, Parapat. Kemudian dia pindah ke perkampungan dekat Gereja RK sekarang ini. Karena sulitnya mencari air, ia pindah ke sebuah tempat yang belakangan dinamai Sidallogan. Di sana, Sorak Maunok mempunyai keturunan yang dinamai Suhut Maraja.

Suhut Maraja memiliki dua istri. Istri pertamanya boru Sihotang. Dari perkawinan mereka lahirlah Sidasuhut dan Sidallogan. Dari istri keduanya boru Manurung lahirlah anak yang bernama Simaibang dan Simandalahi.

Mengagetkan, menurut cerita, Simaibang mengawini ibunya sendiri boru Manurung setelah Suhut Maraja meninggal. Hasil perkawinan mereka lahirlah seorang anak dinamai Simanjorang. Dalam perkembangannya keturunan dari Suhut Maraja inilah yang membuka perkampungan masing masing dan menamai Kampung atau Huta tersebut sesuai dengan nama mereka. Hingga kini, nama kampung tersebut masih ditemukan di Girsang 1 yakni Sidasuhut, Sidallogan, Simaibang, Simandalahi, dan Simanjorang. Ada satu kampung yang dinamai Porti, nama lain dari Bonar Pande.




 

Kampung Girsang 1 Kini

            Hingga kini, secara kesuluruhan penduduk Girsang 1 masih didominasi keturunan Sinaga dan kerabat-kerabatnya dari marga lain. Beberapa marga lain yang tinggal di sini seperti Silalahi, Sirait, Manurung dan lainnya, yang umumnya berasal dari Toba Samosir. Kawasan Girsang didominasi oleh suku Batak Toba. Unik memang mengingat Girsang berada di Kabupaten Simalungun.

Bahasa yang digunakan pada umumnya Batak Toba dan Bahasa Indonesia. Sekalipun ada mata pelajaran Bahasa Simalungun diajarkan di sekolah, masyarakat tidak lazim gunakan bahasa tersebut.

Budaya di Girsang 1

            Sebagaimana suku Batak Toba biasanya, penduduk Girsang 1 juga demikian. Sebagian besar dari penduduk mengikuti aturan perkawinan adat Batak. Namun, ada juga yang tidak lagi mengikuti budaya tersebut karena memilih mengikuti keyakinan agama masing-masing.

Perkawinan menurut adat Batak pada umumnya tidak hanya mempersatukan dua orang, tetapi juga dua marga. Sepupu dari pihak ibu dianggap sebagai pasangan yang ideal. Tetapi, menikah dengan sepupu dari pihak ayah, atau dengan orang dari marga yang sama, dianggap sangat tabu. Kalau tidak, perkawinan adat biasanya mengikuti aturan: Pria dari marga A mengambil istri dari marga B, pria dari marga B mengambil istri dari marga C, dan pria dari marga C mengambil istri dari marga A. Jalinan yang berputar itu sangat memperkuat ikatan keluarga orang Batak dan menghubungkan pasangan yang baru menikah dengan jaringan keluarga yang besar.

            Marsiadapari atau gotong-royong. Berasal dari kata mar-sialap-ari yang artinya kita berikan dulu tenaga dan bantuan kita kepada orang lain baru kemudian kita minta dia membantu kita.

Memasuki periode menanam padi sekitar Januari-Februari, kita akan melihat masyarakat sibuk mengairi sawah atau dalam bahasa Batak maranggat mual. Setelah mempersiapkan benih untuk ditanam, masyarakat akan gotong-royong secara bergilir mengerjakan sawah. Minggu ini misalnya menanam atau marsuan di sawah marga Siallagan, beberapa hari berikutnya di sawah marga Sinaga dan seterusnya.

Kegiatan marsiadapari ini pun tidak hanya dilakukan masyarakat saat bertani tetapi juga berlaku pada beberapa kegiatan masyarakat di kampung ini. Misalnya, memperbaiki jalan, acara berduka, dan lainnya.

Potensi Desa dan Pengembangannya

Potensi Wisata Kampung

Kampung Girsang 1 memiliki potensi daya tarik wisata baik bersifat fisik maupun non fisik. Bersifat fisik yakni potensi alam yang sangat memikat mata para wisatawan. Ada mata air, air terjun, bukit-bukit yang indah, persawahan, perkebunan dan perkampungan. Kawasan Girsang 1 benar-benar indah. Layak disebut mirip dengan Firdaus yang dicatat di Kitab Suci. Lereng-lereng bukit ibarat amfiteater alam yang luas. Di sana terdapat petak-petak sawah berwarna hijau-zamrud.

Saat ini, Tim Parhuta yang didanai oleh sumbangan pribadi dari Norma Sinaga tengah membenahi Kampung Girsang 1. Sejak Juni 2020 menjalankan program swadaya lewat semangat gotong-royong atau marsiadapari, mengembangkan Kampung Girsang sebagai Kampung Wisata.

Tiga dari lima program yang telah direncanakan yakni pertama, memperbaiki akses jalan menuju sejumlah lokasi seperti Bukit Simumbang dan Huta Simandalahi. Kedua, membagikan 1.000 bibit pohon untuk ditanam di pekarangan rumah guna menghijaukan Girsang 1. Ketiga, membangun sopo atau tempat tongkrongan di sekitar kampung atau pematang sawah.

Potensi bersifat non fisik yakni warisan budaya berupa Rumah Batak dan budaya yang masih lestari. Guna mendukung Girsang 1 sebagai Kampung Wisata, Rumah Batak di Huta Simandalahi saat ini sudah dipugar. Penampilannya kini sudah jauh berbeda dari sebelumnya. Mengingat posisi Girsang berada di kawasan Geopark Kaldera Toba, penampilan Girsang berperan dalam meningkatkan citra Kaldera Toba, khususnya pariwisata di Kawasan Parapat, Simalungun.

Guna mendukung terbentuknya Kampung Wisata, sejumlah warga di desa ini siap untuk menyediakan fasilitas, sarana dan prasarana guna mendukung kegiatan wisata. Saat tulisan ini digarap, ada satu rumah yang dimiliki oleh pemilik Tabo Cottage siap untuk disediakan buat wisatawan.

Spot Menarik

Kami turut mempromosikan Kawasan Danau Toba sebagai Taman Bumi Dunia dengan turut menjaga kelestarian alam di Girsang 1. Kami mempromosikan spot menarik di beberapa lokasi antara lain:

Bukit Simumbang

Bukit Simumbang merupakan bukit di Kampung Girsang 1. Saat kami memeriksa ketinggiannya melalui aplikasi My Elevation, ketinggian tempat kami berada yakni di Pondok Simumbang, mencapai 1.196 meter. Lokasi tersebut milik masyarakat. Akses ke sinilah salah satu yang dibenahi Tim Parhuta yang memungkinkan masyarakat setempat maupun wisatawan untuk menikmati jungle trekking atau mendaki gunung. Dari lokasi ini, kita dapat menyaksikan pemandangan Danau Toba yang indah dan Kota Parapat yang penuh dengan hotel.

            Sebelum sampai ke Bukit Simumbang, kita akan menyaksikan tanaman-tanaman pangan seperti padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu, tebu, pisang, jeruk, kopi, tomat, coklat, nenas, alpukat, asam, berbagai kacang-kacangan, rempah-rempah, dan lainnya. Lokasi Girsang 1 merupakan sumber bahan pangan.

            Selain sebagai bahan pangan, banyak rempah-rempahan di hutan digunakan sebagai obat-obatan. Apalagi selama pandemi Corona melanda, rempah seperti jahe, kunyit, lengkuas diburu karena khasiatnya. Penduduk kampung Girsang 1 juga turut membudidayakan dan menggunakannya guna meningkatkan daya tahan tubuh. Kawasan ini cocok bagi para peneliti untuk meriset apakah ada tanaman di hutan ini berpotensi dijadikan obat.

            Hutan yang lebat ini juga menghasilkan oksigen dan menjaga Kampung Girsang 1 dari hujan deras yang mengikis tanah. Karena hutannya masih lestari, di sejumlah lokasi terdapat sungai tadah hujan. Sungai-sungai ini terbentuk karena adanya hutan tropis sepanjang tahun. Di dalam sejumlah sungai tersebut, masyarakat setempat memanfaatkannya sebagai sumber pengairan air dan budidaya ikan seperti Lele dan Gabus. Di dalam hutan ini, kita juga bisa menjumpai berbagai jenis satwa seperti Imbo atau Siamang, burung Enggang, Beruang Madu, dan binatang unik lainnya.

Pemandangan di Sitombom

            Kata tombom artinya jatuh. Biasa dalam bahasa Batak Toba ditulis tobbom atau tombom. Kemungkinan karena lokasi ini jatuh ke bawah, berada persis di bawah Bukit Simumbang. Pemandangan di sini bagi penulis sangat indah. Khususnya ketika padi akan segera memasuki masa panen. Ada begitu banyak sawah padi dan jagung, diselingi beberapa tanaman keras seperti kopi dan coklat.

            Belum ada data pasti terkait luas lokasi Sitombom. Bagi penulis ini sangat memikat perhatian karena terbentang di bawah bukit dan penuh dengan batu. Lokasi ini juga jadi bukti para petani di Girsang 1 pekerja keras, tangguh dan tidak gampang menyerah.

            Para petani membentu teras-teras sawah di sisi pegunungan yang hijau. Tiap-tiap teras dipagari oleh pematang, dan disangga oleh dinding tanah liat yang keras atau batu. Kebanyakan teras ditanami padi dan mengikuti kontur pegunungan; beberapa lereng berbentuk cekung, yang lain berbentuk cembung. Teras ini dibuat guna menahan humus saat hujan deras datang.

            Siapapun yang menyukai alam pasti akan menganggumi pemandangan teras sawah ini. Ini jadi bukti bahwa masyarakat gigih bekerja sehingga bisa membentuk teras yang cantik. Teras sawah ini dibangun karena kerjasama masyarakat, budaya marsiadapari.

Umumnya, masyarakat menanam padi air, bukan padi darat. Varietas padi air sangat membutuhkan air. Maka, guna menunjang hal tersebut, sistem pengairan dibutuhkan. Sungai-sungai di pegunungan disadap dan disalurkan ke teras melalui sistem kanal atau parit. Didorong gaya gravitasi, persediaan air disalurkan dari teras ke teras. Ini benar-benar keajaiban dunia yang hidup. Kita bisa menyaksikan para petani bekerja keras! Jika Anda berkunjung kesini saat padi mulai bertumbuh, teras ini tampak seperti mosaik yang indah dengan berbagai gradasi warna hijau.

Mempertimbangkan: Mak Ober, petani Girsang 1 sedang mempertimbangkan apakah padinya sudah layak untuk dipanen atau harus menunggu beberapa hari lagi. Pemandangan sawah padi buat suasana hati tentram.

Pemandangan di Gala-Gala

            Gala-gala adalah jenis tanaman yang mendominasi wilayah ini. Makanya lokasi ini dinamakan Gala-Gala. Sama seperti Sitombom, kawasan ini dipenuhi dengan padi dan jagung. Akan tetapi, pemandangan di lokasi ini punya daya tarik tersendiri. Lokasi ini menghubungkan Girsang 1 ke Girsang 2. Dari lokasi inilah kita bisa sampai menuju air terjun.

            Keunikan pemandangan ini lagi, kita bisa merasakan udara yang segar dengan pemandangan sawah kiri-kanan. Pembuatan teras sawah tidak menggunakan alat-alat canggih. Masyarakat menggunakan peralatan biasa seperti cangkul dan kayu.

            Kalau kita ingin berkunjung kesini, saat kamu turun dari Bus Sejahtera, DAMRI atau taksi, kamu bisa berjalan menuju Kampung Girsang 1 entah berjalan kaki atau naik angkutan umum. Setelah tiba di Kampung Girsang 1, kamu bisa melanjutkan perjalanan melewati beberapa huta atau kampung yang masih melestarikan Rumah Batak.

Setelah berjalan selama hampir satu jam dan khususnya menikmati udara segar mendekati gunung, dari jalan lurus ada dua pilihan jalan. Ke kiri menuju Huta Simandalahi. Ke kanan menuju Pemandangan SiGala-Gala. Di sinilah teras sawah ini terhampar di depan mata kita. Belum ada data pasti terkait luas lokasi SiGala-Gala.

Periode Panen: Pemandangan di SiGala-Gala memasuki periode panen. Lokasi ini cocok bagi mereka yang gemar dengan alam dan melihat pematang sawah.


Huta Simandalahi

            Huta artinya kampung. Huta Simandalahi artinya huta ini dibuka atau dihuni oleh keturunan Sinaga yang bernama Simandalahi. Kemungkinan besar pria bernama Simandalahi itulah yang menamai Huta ini Simandalahi. Huta bernama Simandalahi tidak hanya ada di Girsang 1, huta bernama Simandalahi juga terdapat di lokasi lain di Kecamatan Girsang Sipanganbolon. Pada umumnya, kumpulan marga Sinaga sepakat kalau huta ini dibuka oleh Simandalahi atau keturunan Simandalahi.

            Kebanyakan keturunan Sinaga dari Huta Simandalahi di Girsang 1 saat ini merantau atau berpencar ke tempat lain. Akan tetapi, rumah Batak tersebut statusnya masih milik marga Sinaga, warisan leluhur mereka. Demikian juga rumah Batak di huta lainnya, huta Porti, Sidasuhut dan Sidallogan.

Rumah Batak unik. Dibangun tanpa paku dan tahan lama. Generasi sekarang mungkin tidak mampu untuk membuat rumah seperti itu sekarang mengingat keterbatasan kayu dan tenaga untuk membangunnya. Belum diketahui pasti kapan rumah Batak mulai dibangun. Mungkin sejak mulainya sejarah suku Batak Toba.

Dulu, rumah Batak dapat menampung hingga 12 keluarga hidup bersama dalam satu rumah. Banyak rumah Batak yang ada saat ini sudah berusia ratusan tahun. Rumah ini terbuat dari kayu pinasa atau nangka yang dijadikan tiang untuk menopang beban atap. Kayu poki atau kayu keras yang digunakan untuk tiang badan bangunan. Kayu ulin digunakan untuk membuat ukiran pada bangunan. Kayu ini memiliki sifat keras, tetapi memiliki tekstur yang lembut pada serat kayunya. Kolong rumah digunakan sebagai tempat ternak​-anjing, ayam, babi, kerbau, dan sapi. Namun, di Kampung Girsang saat ini rumah hanya dihuni satu keluarga dan kolong rumah biasaya dijadikan gudang.

 

Mengecat: Dedy Pakpahan, anggota Tim Parhuta sedang mengecat Rumah Batak guna melestarikan warisan budaya di Huta Simandalahi.

Budaya Berkebun

Melihat: Seorang anak melihat hamparan tanaman jahe di salah satu lokasi mendekati Simumbang. Budaya bertani telah ditanamkan kepada anak-anak di desa ini sejak kecil.


           
Penduduk di Girsang 1 membudayakan diri mereka untuk bertani. Sejak kecil, orang tua mereka membawa anak-anak mereka untuk bertani. Budaya inilah yang membentuk karakter anak-anak, mengajarkan mereka pentingnya bekerja keras. Sebab, anak-anak diajarkan bahwa segala sesuatu itu harus ada proses. Mulai dari menanam, merawat atau mengurus, memberikan pupuk dan membersihkan rumput hingga memanen. Itu butuh proses panjang.

            Beberapa anak di kampung ini terkenal sangat berani. Beberapa yang penulis kenal sanggup berjalan kaki ke lokasi untuk mengambil tuak tanpa menggunakan sandal atau sarung tangan. Hanya bermodalkan parang. Mereka sering jumpa ular dan binatang berbisa lainnya. Tapi mereka kebal terhadap serangan binatang tersebut.

Komunitas Girsang Kreatif

Hasil pertanian di Girsang 1 memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Ada begitu banyak komoditas unggulan di kawasan ini. Ada kopi, kakao, kemiri, padi, jagung, pisang, ubi kayu, bawang merah, jahe, andaliman, dan beberapa komoditas lainnya.

Sejumlah warga Girsang sejak dulu telah berkecimpung di pasar menjual langsung hasil tanaman mereka di Pusat Pasar Tiga Raja atau menjajakannya ke warung atau wisatawan di sejumlah lokasi di Parapat.

Ada yang telah berkecimpung dalam produk hilirisasi seperti usaha bakery, warung makan, kedai tuak, kopi dan lainnya. Masih ada beberapa rencana Tim Parhuta ke depan dalam mengembangkan hilirisasi pertanian yakni memanfaatkan semua bahan di alam.

 

 

 

 

 

Macam Mana Samosir Mau Maju?

 


Oleh: Damayanti


Tahun lalu aku berangkat ke Jakarta untuk melihat persiapan Terminal 3 Ultimate Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Semua biaya termasuk tiket pesawat tiket pesawat promo Garuda disediakan oleh Angkasa Pura II. Di sana kami para pemenang lomba tulisan jurnalistik juga diajak untuk menikmati berbagai lokasi wisata di Jakarta.

Alamak….Tugu Monas Membludak!
Jujur, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke Tugu Monas. Saat itu aku bersama rekan-rekan wartawan dari berbagai daerah merasa jenuh dengan antrian yang membludak. Gelinya, aku berjumpa dengan murid-murid dari Medan yang lagi study tour. Aku sempat teriak ke mereka,”Horas bah! Aku orang Medan juga”.

Lihat foto di atas pengunjung Tugu Monas membludak, ratusan bahkan berasal dari Medan.
Aku juga berjumpa banyak warga dari daerah lain yang sekadar mau tahu bagaimana Tugu Monas itu.  Ku pikir kian ada hal yang sangat spesial di Tugu ini, ternyata yang katanya emas di dalam, tidak bisa kita saksikan. Jadi, hanya lihat pemandangan dan peninggalan sejarah saja. Dengan perasaan sedikit kecewa karena berdesak-desakan dengan para pengunjung lain, aku berusaha mencari hal positif apa yang bisa ku pelajari.

Ku Ingatlah Samosir
Tak lama kemudian pikiranku tertuju ke Pulau Samosir, kampung halaman orang tuaku. Tempat dimana aku pernah sekolah selama 3 tahun lebih. Tempat yang pernah mewarnai perjalanan hidupku. Aku berpikir mendalam, mengapa tidak sebanyak ini jumlah orang yang berkunjung ke Samosir. Selain cinta akan Samosir, aku juga ingin orang-orang lain mengenal kampung halamanku.

Saat aku lagi pikirkan itu. Pas pula pemandu wisata kami dari Bee Bee 7 Travel punya banyak pengalaman tentang jual paket wisata. Dia pernah merancang berbagai ide untuk menjual paket wisata Samosir. Lalu dia cerita kalau Samosir punya daya pikat yang luar biasa. Namun, ada berbagai kendala yang membuat sulit bagi mereka menjual paket wisata ke Samosir.

Dia membandingkan Samosir dengan Taman Simalem. Taman Simalem dikelola oleh swasta asing sementara lokasi wisata Samosir itu ada banyak dan dikelola oleh berbagai pihak. Mengapa paket wisata Taman Simalem lebih laris-manis dibandingkan paket wisata ke Samosir. Itu karena berbagai hal di antaranya: Pertama, jarak dan waktu tempuh menuju Pulau Samosir. Dia bilang, umumnya para wisatawan hanya punya waktu singkat berlibur. Bila waktu tempuh mereka terlalu lama dan tidak pasti, mereka tentu kurang tertarik.

Kedua, Medan dan beberapa daerah di Sumut itu terkenal kurang ramah terhadap para pengunjung. Ada banyak hal yang perlu dicontoh oleh warga Sumut, khususnya Pulau Samosir dari penduduk di Bali. Penduduk Bali menganggap para turis sebagai tamu istimewa yang harus diperlukan dengan baik. Mereka merasa sangat bergantung pada dunia pariwisata makanya para turis diperlakukan sebagai raja dan ratu. Perlakuan yang nyaman tersebut bisa diingat dan diceritakan oleh para turis ke kawan, kerabat dan siapapun.

Ketiga, lokasi-lokasi wisata di Pulau Samosir misalnya, Pasir Putih Parbaba harusnya bersih, tertata rapi, dan punya fasilitas lengkap. Jangan sampai brosurnya saja yang cantik tapi kenyataannya terbalik. Namun, di akhir dari percakapan kami, ia menandaskan kemajuan tersebut sangat bergantung pada sumber daya manusia di Sumut.
“Singkatnya,  masalahnya terletak pada SDMnya mbak. SDM Sumut masih sulit. Lihat saja pelanggaran lalu-lintas dimana-mana. Pemerintahnya juga terus-menerus bermasalah korupsi. Belum lagi, para warga belum menganggap Samosir dan para turis sebagai sumber pendapatan mereka,” terang Mas pemandu wisata kami.
Saat mengobrol dengannya, seketika saja aku ingat pengalamanku melakukan perjalanan ke Samosir. Iya, aku ingat sekali bagaimana warga sesukuku Batak Toba sering sekali buat onar dan kebisingan. Maaf, saya bukan menghina suku Batak, saya juga Batak. Saya sering merasa tidak nyaman dengan suara bising, asap rokok, cakap kotor di bus atau angkot. Saya kadang malu dengan sikap orang Batak yang selalu ingin menang sendiri dan kasar saat di jalan. Hampir semua jalan dan rambu lalu-lintas dilanggar. Itu buat suasana perjalanan para wisatawan sama sekali tidak nyaman. Padahal, yang namanya perjalanan itu ya selama berjalan-jalan. Mulai dari tiba sampai meninggalkan daerah wisata.


Sebagai warga Sumut, aku kerap menyaksikan banyak proyek dan promosi pariwisata Pemerintah Samosir bersifat mementingkan diri sendiri. Lebih terkesan hanya cuap-cuap doing. Macam mana Samosir mau maju? Ini semua bermula dari kebiasaan warga Sumut secara umum dan Batak khususnya. Nah, seperti komentar pemandu Bee Travel masalahnya terletak pada SDM–bagaimana caranya mengubah kebiasaan warga Sumut. Itulah yang paling sulit sebab mengubah Pulau Samosir jadi cantik dan bersih sangat mudah. Tapi mengubah perilaku atau kepribadian warga Sumut, itu yang paling sulit!

Berubahlah Kita
Makanya, kembali lagi pernyataan dari pakar wisatawan yang mengatakan kebahagiaan seorang wisatawan bukan saja bersumber dari perjalanan itu tapi terletak pada bagaimana wisatawan itu diperlakukan itu sangat tepat.

Kalau para wisatawan diperlakukan dengan baik, lembut, dan bersahabat tentu mereka akan memperoleh perasaan bahagia yang tak terlukiskan. Itu akan meluap dan menjadi cerita yang akan disebar kepada orang lain. Jika perilaku warga kita berubah mulai dari anak-anak sampai dewasa dan orang tua dididik menghormati dan menjaga perasaan tamu, tentu Samosir jauh lebih populer ketimbang Bali atau Tugu Monas! Apa yang tidak ada di Pulau Samosir, semua ada! Mulai dari pemandangan yang keren, udara segar, flora, fauna dan berbagai warisan opung-opung (leluhur) kita! So, yuk warga Sumut, kita ubah perilaku kita!






Easy Go Tour Travel Offers the Cheapest Packages to Explore Lake Toba

   Detail Information about the destinations Talking about Lake Toba is not limited to its waters. Lake Toba has many untold riches. One of ...