Blog ini ditujukan Damayanti untuk berbagi Cerita dan Info kepada para pembaca. Penulis punya banyak hobi. Hobi menulis, mengajar, bertani, berwisata, fotografi, dan lainnya.
Saat itu kami penasaran dengan sebuah bukit yang sangat populer diposting di kanal media sosial. Kebetulan saat itu aku lagi berkunjung ke rumah seorang kakak yang tinggal di Desa Rianiate, Pangururan. Jadi, kami memutuskan berkunjung ke bukit tersebut. Untuk mempersingkat perjalanan, kami menyebrang dari Pelabuhan Pintu Batu menuju Pelabuhan Sihotang. Seingatku tarif kapal Rp5ribu per orang. Demikian juga dengan tarif sepeda motor.
Kak Reynita dan Maktua
Desa Sihotang
Kapalnya lebih kecil dibandingkan kapal penumpang yang umum digunakan seperti di Pelabuhan Tomok. Jarak pandang dari tempat duduk ke air juga dekat. Dari Pelabuhan ini saja aku sudah merasa perjalanan kami luar biasa. Aku bisa melihat perbukitan di sekitar Danau Toba saat sedang menyebrang. Cuaca saat itu juga mendukung perjalanan kami.
Sesampainya di Desa Sihotang, kami memotret keindahan alam di sekeliling. Aku lihat foto dengan latar bukit di sekitar Pelabuhan ini keren. Setelah berfoto ria kami melanjutkan perjalanan menuju bukit yang ingin kami kunjungi itu. Namun, selama perjalanan, aku terperangah melihat suasana Desa Sihotang. Indah, sejuk dan damai rasanya memandang desa tersebut. Saking indahnya, kami memutuskan untuk berhenti sebentar dan berfoto.
Akan tetapi, jalan di sini tidak begitu bagus. Tapi kami masih bisa melewatinya dengan sepeda motor matic. Beberapa hal yang menarik di desa ini pematang sawah padinya kiri dan kanan, bukit-bukit yang mirip seperti di kartun Teletubbies diselimuti danau, dan perkampungan. Pepohonan di sini juga cukup banyak. Itu menambah kesejukan desa. Saat kami lewat, kami melihat warga sekitar sedang bekerja memanen padi. Aku bergumam melihat desa ini dan menyimpulkan desa ini punya potensi wisata.
Suasana rileks di desa ini bikin kita tidak ingin segera beranjak. Sayangnya, tidak ada tempat duduk bagi wisatawan. Namun, kami memilih duduk di sisi jalan ada tembok sawah yang terbuat dari beton. Salah satu alasan mengapa UNESCO memberikan gelar Geopark untuk Kawasan Danau Toba karena alamnya begitu indah. Keindahan alam ini patut kita syukuri karena tidak semua orang di bumi bisa menikmatinya.
Setelah menikmati keindahan desa ini kami melanjutkan perjalanan menuju Bukit Holbung dan Bukit Sibea-Bea. Selama perjalanan kami seharian, aku sangat ingat pemandangan desa itu. Suasana desa itu begitu berkesan. Jika nanti kamu hendak mengunjungi Bukit Holbung dan Sibea-bea, yang jarak keduanya tidak begitu jauh satu sama lain, sempatkanlah singgah ke desa ini. Apalagi mengingat tidak ada tarif masuk ke desa ini. Tapi ingat kita harus menjaga sopan santun karena kita masuk ke desa dengan budaya yang berbeda.
Tahun lalu aku berangkat ke Jakarta untuk
melihat persiapan Terminal 3 Ultimate Bandara Internasional
Soekarno-Hatta. Semua biaya termasuk tiket pesawat tiket pesawat promo Garuda
disediakan oleh Angkasa Pura II. Di sana kami para pemenang lomba
tulisan jurnalistik juga diajak untuk menikmati berbagai lokasi wisata
di Jakarta.
Alamak….Tugu Monas Membludak!
Jujur,
untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke Tugu Monas. Saat itu aku
bersama rekan-rekan wartawan dari berbagai daerah merasa jenuh dengan
antrian yang membludak. Gelinya, aku berjumpa dengan murid-murid dari
Medan yang lagi study tour. Aku sempat teriak ke mereka,”Horas bah! Aku
orang Medan juga”.
Lihat foto di atas pengunjung Tugu Monas membludak,
ratusan bahkan berasal dari Medan.
Aku juga berjumpa banyak warga
dari daerah lain yang sekadar mau tahu bagaimana Tugu Monas itu. Ku
pikir kian ada hal yang sangat spesial di Tugu ini, ternyata yang
katanya emas di dalam, tidak bisa kita saksikan. Jadi, hanya lihat
pemandangan dan peninggalan sejarah saja. Dengan perasaan sedikit kecewa
karena berdesak-desakan dengan para pengunjung lain, aku berusaha
mencari hal positif apa yang bisa ku pelajari.
Ku Ingatlah Samosir
Tak
lama kemudian pikiranku tertuju ke Pulau Samosir, kampung halaman orang
tuaku. Tempat dimana aku pernah sekolah selama 3 tahun lebih. Tempat
yang pernah mewarnai perjalanan hidupku. Aku berpikir mendalam, mengapa
tidak sebanyak ini jumlah orang yang berkunjung ke Samosir. Selain cinta
akan Samosir, aku juga ingin orang-orang lain mengenal kampung
halamanku.
Saat aku lagi pikirkan itu. Pas pula pemandu wisata
kami dari Bee Bee 7 Travel punya banyak pengalaman tentang jual paket
wisata. Dia pernah merancang berbagai ide untuk menjual paket wisata
Samosir. Lalu dia cerita kalau Samosir punya daya pikat yang luar biasa.
Namun, ada berbagai kendala yang membuat sulit bagi mereka menjual
paket wisata ke Samosir.
Dia membandingkan Samosir dengan Taman
Simalem. Taman Simalem dikelola oleh swasta asing sementara lokasi
wisata Samosir itu ada banyak dan dikelola oleh berbagai pihak. Mengapa
paket wisata Taman Simalem lebih laris-manis dibandingkan paket wisata
ke Samosir. Itu karena berbagai hal di antaranya: Pertama, jarak dan
waktu tempuh menuju Pulau Samosir. Dia bilang, umumnya para wisatawan
hanya punya waktu singkat berlibur. Bila waktu tempuh mereka terlalu
lama dan tidak pasti, mereka tentu kurang tertarik.
Kedua, Medan
dan beberapa daerah di Sumut itu terkenal kurang ramah terhadap para
pengunjung. Ada banyak hal yang perlu dicontoh oleh warga Sumut,
khususnya Pulau Samosir dari penduduk di Bali. Penduduk Bali menganggap
para turis sebagai tamu istimewa yang harus diperlukan dengan baik.
Mereka merasa sangat bergantung pada dunia pariwisata makanya para turis
diperlakukan sebagai raja dan ratu. Perlakuan yang nyaman tersebut bisa
diingat dan diceritakan oleh para turis ke kawan, kerabat dan siapapun.
Ketiga,
lokasi-lokasi wisata di Pulau Samosir misalnya, Pasir Putih Parbaba
harusnya bersih, tertata rapi, dan punya fasilitas lengkap. Jangan
sampai brosurnya saja yang cantik tapi kenyataannya terbalik. Namun, di
akhir dari percakapan kami, ia menandaskan kemajuan tersebut sangat
bergantung pada sumber daya manusia di Sumut.
“Singkatnya,
masalahnya terletak pada SDMnya mbak. SDM Sumut masih sulit. Lihat saja
pelanggaran lalu-lintas dimana-mana. Pemerintahnya juga terus-menerus
bermasalah korupsi. Belum lagi, para warga belum menganggap Samosir dan
para turis sebagai sumber pendapatan mereka,” terang Mas pemandu wisata
kami.
Saat mengobrol dengannya, seketika saja aku
ingat pengalamanku melakukan perjalanan ke Samosir. Iya, aku ingat
sekali bagaimana warga sesukuku Batak Toba sering sekali buat onar dan
kebisingan. Maaf, saya bukan menghina suku Batak, saya juga Batak. Saya
sering merasa tidak nyaman dengan suara bising, asap rokok, cakap kotor
di bus atau angkot. Saya kadang malu dengan sikap orang Batak yang
selalu ingin menang sendiri dan kasar saat di jalan. Hampir semua jalan
dan rambu lalu-lintas dilanggar. Itu buat suasana perjalanan para
wisatawan sama sekali tidak nyaman. Padahal, yang namanya perjalanan itu
ya selama berjalan-jalan. Mulai dari tiba sampai meninggalkan daerah
wisata.
Sebagai warga Sumut, aku kerap menyaksikan banyak proyek
dan promosi pariwisata Pemerintah Samosir bersifat mementingkan diri
sendiri. Lebih terkesan hanya cuap-cuap doing. Macam mana Samosir mau
maju? Ini semua bermula dari kebiasaan warga Sumut secara umum dan Batak
khususnya. Nah, seperti komentar pemandu Bee Travel masalahnya terletak
pada SDM–bagaimana caranya mengubah kebiasaan warga Sumut. Itulah yang
paling sulit sebab mengubah Pulau Samosir jadi cantik dan bersih sangat
mudah. Tapi mengubah perilaku atau kepribadian warga Sumut, itu yang
paling sulit!
Berubahlah Kita
Makanya,
kembali lagi pernyataan dari pakar wisatawan yang mengatakan
kebahagiaan seorang wisatawan bukan saja bersumber dari perjalanan itu
tapi terletak pada bagaimana wisatawan itu diperlakukan itu sangat
tepat.
Kalau para wisatawan diperlakukan dengan baik, lembut, dan
bersahabat tentu mereka akan memperoleh perasaan bahagia yang tak
terlukiskan. Itu akan meluap dan menjadi cerita yang akan disebar kepada
orang lain. Jika perilaku warga kita berubah mulai dari anak-anak
sampai dewasa dan orang tua dididik menghormati dan menjaga perasaan
tamu, tentu Samosir jauh lebih populer ketimbang Bali atau Tugu Monas!
Apa yang tidak ada di Pulau Samosir, semua ada! Mulai dari pemandangan yang keren, udara segar, flora, fauna dan berbagai warisan opung-opung (leluhur) kita! So, yuk warga Sumut, kita ubah perilaku kita!