Tampilkan postingan dengan label Econusa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Econusa. Tampilkan semua postingan

Menanti G20 Cegah Bencana Global

Menanti G20 Cegah Bencana Global    

Tahun demi tahun bencana semakin meningkat. Dalam laporan Global Natural Disaster Assessment Report yang mencatat bencana tahun 1990 hingga 2020, grafik menunjukkan  peningkatan  signifikan.  Pada  2020,  ada  193  bencana  banjir  besar terjadi di beberapa tempat di dunia, menyebabkan 6.171 kematian. Ada 33,22 juta orang terkena dampak akibat banjir pada tahun tersebut. Pada 2019 ada 29,63 juta orang terkena dampak banjir.  Dibandingkan  dengan  rata-rata  selama  30  tahun  terakhir  (1990-2019), frekuensi  bencana banjir meningkat 43% pada  tahun  2020.  Dibandingkan  dengan rata-rata selama 10 tahun terakhir (2010-2019), frekuensi bencana banjir meningkat sebesar 33 persen pada 2020. Jumlah kematian akibat bencana 22% lebih banyak. 

Tahun 2021 tercatat setidaknya 10 bencana alam mematikan. Dari 10 bencana alam mematikan tersebut, terdapat di 7 negara G20 di antaranya di Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, China, Kanada, Jerman, dan Turki, yang merupakan negara anggota G20. Fakta ini seharusnya mendapat perhatian serius dari pemimpin G20.  Bencana  alam  terus  meningkatkan  sejalan  dengan  peningkatan  populasi penduduk. Namun, faktor kebrutalan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam turut memperparahnya. Menurut sejumlah ilmuwan, perubahan pada atmosfer bumi  dan  samudra  akibat  ulah manusia telah menjadikan planet  kita  tempat yang berbahaya karena bencana alam terjadi semakin sering dan semakin parah. Jika tidak ada  upaya guna mengurangi penyebab bencana, penduduk bumi hanya  akan  sibuk membantu  korban  bencana  silih  berganti. 

Jika  tidak  ada  upaya mendesak  untuk  mengurangi  intensitas  bencana,  kita  hanya  akan  sibuk  untuk membantu korban banjir dan dana terkuras untuk ‘mengobati daripada mencegah’. Bukankah  lebih  baik  upaya  dan  dana  difungsikan  secara  memaksimalkan  untuk mencegah bencana itu sendiri?

Untuk itu, sangatlah wajar berkesimpulan solusi paling praktis untuk mencegah bencana adalah dengan berinvestasi pada hutan. Maksudnya, menjaga, melestarikan dan memperbesar luas hutan yang ada, khususnya yang ada di negara-negara G20. Ini termasuk menghutankan kembali daerah yang sudah gundul dan kritis.  Apalagi mengingat hutan terbesar di dunia juga ada di negara G20. Di antaranya di Rusia, AS, Tiongkok, Brazil, Kanada dan Indonesia.

Sasaran G20

Hal  lain  lagi  yang  penting  dilakukan  adalah  meningkatkan  kesadaran masyarakat  akan  pentingnya  hutan.  Masyarakat  sendiri  harus  tanpa  pepohonan mereka tidak bisa hidup. Masyarat, khususnya mereka yang hidup dekat hutan perlu diajarkan  cara  memanfaatkan  lahan  hutan  tanpa  harus  melenyapkan pephonan di sana. Dua program pemanfaatan hutan di antaranya ekowisata dan agroforestri.

Jika  diartikan  secara  singkat,  ekowisata  artinya  wisata  alam.  Tapi,  secara lengkap  artinya  kegiatan  pariwisata  yang  berwawasan  lingkungan  dengan mengutamakan  aspek  konservasi  alam.  Program  ini  menghasilkan  peluang  bisnis bagi penduduk setempat sekaligus menunjang konservasi hutan. Di Rwanda, Afrika, promosi  ekowisata  yang  sukses  dianggap  telah  berhasil  menyelamatkan  populasi gorila  gunung  karena  hal  itu  memberi  penduduk  setempat  sumber  penghasilan alternatif  selain  perburuan  gelap.  Di seluruh dunia,  ekowisata  telah turut berperan dalam kemajuan lingkungan serta sosial, dan industri pariwisata tak dapat disangkal telah mendatangkan banyak keuntungan finansial. 

Selain  ekowisata,  program  agroforestri  juga  perlu  diajarkan  kepada masyarakat,  khususnya  mereka  yang  tinggal  dekat  hutan.  Program  agroforestri merupakan suatu sistem memadukan penanaman pohon dan tanaman pangan atau padang rumput dengan cara yang aman secara ekologi. Di Brazil, program ini berhasil menyelamatkan  hutan  hujan  tropis.  Para  agronom  di  sana  berharap  agar  seraya agroforestri semakin memasyarakat, penggundulan hutan pun semakin lambat. Lewat program ini, masyarakat diajak untuk mencintai hutan.

Mengingat ada sejumlah tempat-tempat menarik di negara-negara G20 yang ditetapkan sebagai Geopark (Taman Bumi), seharusnya pemberian gelar Geopark itu menjadi momentum untuk semakin melestarikan Geopark. Pemimpin G20, khususnya Indonesia  perlu  menggelorakan  semangat  menghijaukan  penanaman  pohon. Masyarakat  perlu  diajarkan  untuk  punya  kebun  sendiri  di  tiap  rumah  mereka. Sehingga tiap rumah ada pohon yang bisa membantu mengurangi pemanasan global


Apa yang Terjadi setelah Geopark Kaldera Toba?

Pencapaian KDT usai Menyandang Geopark

         

Perjuangan panjang agar Kawasan Danau Toba (KDT) memperoleh gelar Geopark begitu luar biasa. Euforia meluap di banyak tempat setelah  Dewan Eksekutif UNESCO dalam sidangnya di Paris Selasa 2 Juli 2020 menetapkan Kawasan Danau Toba sebagai Geopark. Tapi setelah mendapat gelar Geopark dari UNESCO, pada 13 Mei 2021 terjadi banjir bandang di Parapat, persis berdekatan dengan tulisan Geopark di Sibaganding.

Di saat yang sama sektor wisata lesu akibat dampak pandemi Corona. Selama Febuari 2020 hingga Februari 2022, angka wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara ke Danau Toba, merosot. Ekspektasi bahwa kunjungan wisman mancanegara akan meningkat setelah mendapat pengakuan dari UNECO pun sirna.


Berikut hasil reportase Kelompok 9 Youth Digital Campaigner Econusa

Stop Penebangan Hutan di Kawasan Danau Toba! 

Kelompok 9 diantaranya:

@putrimeltaa

@dea.aswani_ 

@noer_qholip99

@damayantisimanjorang

@miss_hannysigo90

@ekowisatahgp

@ruangkontribusi.id


#GeoparkKalderaToba    JagaGeopark #MasihkahGelarGeopark     

#DanauToba        #StopPenebanganHutan

#StopDeforestasi   #Sitahoan    #GirsangSipanganbolon   #Parapat  

#GeoparkKokBegini?     #KTHHarangan #Youthdigitalcampaigner   #Econusa

#Beradatjagahutan      #defendingparadise

#KawasanDanauToba   #ClimateChange

#G20ClimateChange     #UnescoGeopark

#PegununganBukitBarisan  #WorldHeritage

#WarisanHutanHujanTropis  #JagaWarisan


Masanya Manusia Tidak Berkomunikasi Hingga Buang Mantan

Dua pemateri

Sebenarnya, aku sudah tidak kuasa menahan ketawa saat ikutin kuliah Ilmu Komunikasi sama dua dosen dari ASPIKOM tapi karena sambil ngerjakan tugas, ketawaku ku tahan. Pasalnya, sebelum dosen menjelaskan, kami diajukan satu pertanyaan begini,”Apakah ada masanya manusia tidak berkomunikasi?” Aku saat baca pertanyaan itu enteng saja menjawab,” Ya”.

Ternyata namaku langsung ditunjuk pula sama Pak Yenrizal, pemateri pertama. Kaget aku ditunjuk, tapi pede saja aku menjawab begini,” Kalau sudah mati kan manusia tidak bisa berkomunikasi lagi,”. Ternyata Pak Yenrizal mengoreksi jawabanku begini,” Kalau sudah mati bukan manusia lagi!,” Sedikit merasa tersindir tapi aku juga ingin tertawa besar, menertawakan jawabanku.

Lalu Pak Yenrizal menjelaskan, selama hidupnya manusia berkomunikasi. Berkomunikasi yang dimaksud bukanlah berbicara dua arah dengan lawan bicara. Sebab, arti komunikasi adalah proses memaknai sesuatu. Jika sesorang memaknai sesuatu, saat itu komunikasi sudah terjadi. Beliau mencontohkan dengan menunjukkan satu gambar dan meminta beberapa dari peserta Youth Digital Campaigner menyampaikan pandangan mereka tentang gambar tersebut. Ada 3 orang memberikan jawaban dengan versi berbeda.

Nah, proses saat para peserta menyimpulkan tentang gambar tersebut itu adalah komunikasi. Dosen Aspikom ini juga menambahkan, saat kita berjumpa dengan seseorang, melihat wajah, mata, rambutnya, kita sedang memaknai atau membuat kesimpulan tentang orang tersebut, Dengan demikian, sepanjang hidupnya, selama masih hidup, manusia berkomunikasi. Itulah intinya. Jadi, kalau sudah meninggal tidak mungkin berkomunikasi.

Selain penjelasan arti komunikasi yang cukup panjang, Pak Yenrizal juga menjelaskan bahwa lingkungan tidak dapat berbicara tentang dirinya sendiri. Jadi, manusia berperan untuk memberikan makna. Maksudnya, manusialah yang berperan untuk menyampaikan opini mengenai lingkungan. Bicara tentang lingkungan maka bicara mengenai diri kita: dimana kita hidup, dan bekerja. Tidak ada komunikasi tanpa lingkungan, dan hidup bumi dapat diselamatkan atau dihancurkan dengan komunikasi.

‘Buang’ Mantan

            Nah, istilah buanglah mantan pada tempatnya bikin aku ngakak habis. Tapi Ibu Yenni Siswantini sepertinya sengaja bilang itu untuk mengundang gelak tawa di sesi siang. Namun,  ku pikir-pikir benar juga saat si Ibu bilang begini,” Jangan punya banyak mantan, nanti repot buangnya,” Kalau terlalu banyak mantan kan memang harus dibuang dari memori otak…hahaha.

            Pre test yang diberikan pemateri kedua ini juga keren. Mantaplah pokoknya. Hanya kami pesertalah yang tahu. Susah dijelaskan dengan kata-kata..haha. Aku juga setuju saat si Ibu mengeluarkan pernyataan tentang tidak efektifnya menjadikan sampah sebagai penghasilan dalam menangani tumpukan sampah. Sebab, orang-orang akan semakin berfokus mengumpulkan sampah. Bukannya mengurangi sampah. Mantap kalilah perenungan Ibu ini bah! Aku setuju juga Bu akan itu. Pernah juga aku berkesimpulan seperti itu.

Upaya menjadikan sampah sebagai bahan prakarya juga kurang efektif dalam menanggulangi sampah, kata si Ibu. Aku pun juga setuju. Pengalamanku mengajar di sebuah sekolah, murid-murid ngumpulin koran-koran bekas untuk dijadikan bunga kertas. Eh, akhirnya potongan-potongan koran malah berhamburan di sana-sini. Malah bikin repot dan menambah sampah.

Sesi paling akhir sebelum post test, aku khususnya sangat suka. Ibu mengajak tiap kelompok untuk mengutarakan advokasi lingkungan apa yang akan masing-masing kelompok lakukan. Kelompokku, kelompok 9 dipilih Ibu untuk menyampaikan hasil diskusi kami. Aku memang sambil ngantor saat kuliah ini berlangsung. Jujur saja..hehe. Tapi syukurlah, aku ambil waktu sejenak untuk menyampaikan yang ada dalam benak.

Aku bilang, perlunya advokasi untuk mempertahankan hak-hak masyarakat di sekitar hutan untuk mengelola hutan secara lestari. Jadi, oknum-oknum tidak sembarangan masuk dan mengubah atau alih fungsi hutan. Maksunya, ada upaya kita untuk membantu masyarakat dalam mempertahankan hak mereka untuk mengelola hutan. Dengan demikian, hutan dijaga dan dimanfaatkan oleh penduduk sekitar.

Kami juga menyarankan perlunya kelompok tani hutan (KTH) seperti yang saat ini juga sudah ada di sejumlah tempat di Indonesia. Merekalah yang paling dekat dengan hutan dan mengawasi apa yang terjadi di sekitar hutan. Dengan demikian, harapannya pihak-pihak lain tidak sembarangan masuk ke hutan dan menggarapnya. Masyarakat di sekitar hutan atau KTH perlu diajarkan untuk memanfaatkan hutan tanpa harus mengekspolitasinya. Seperti yang dilakukan oleh Econusa lewat Ekowisata.

Sekian cerita tentang kuliah pagi hingga siang 26 Maret 2022. Pesan paling pamungkas, jangan punya banyak mantan. Repot nanti ‘buangnya’…haha

Foto-foto peserta 

Foto-foto peserta 

Penulis: Damayanti alias Butet

 

 

Peran Indonesia dan G20 terhadap Iklim Dunia

 

Peran Indonesia dan G20 terhadap Iklim Dunia

Tahun ke tahun suhu dunia meningkat. Dalam laporan World Meteorological Organization (WMO) pada awal Desember 2020 menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama). Dalam laporan Status Iklim Global sementara yang dikeluarkan oleh WMO juga menempatkan tahun 2020 menjadi salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.

Fakta kenaikan suhu tiap tahun ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi semua orang di bumi. Sebab, semua orang terkena dampak perubahan iklim. Melihat bencana meningkat dari tahun ke tahun, isu perubahan iklim menjadi topik paling penting untuk dibahas pada pertemuan G20.


Mangrove di Indonesia Timur berperan beear terhadap penyerapan karbon dunia foto: Econusa


Apalagi mengingat 12 bencana terbesar di dunia yang merenggut nyawa malah terjadi di negara-negara G20 pada 2021. Di antaranya di Indonesia lebih dari 150 orang tewas ketika Topan Seroja melanda NTT pada April 2021. Di Inggris Raya, Badai Christoph pada 18 Januari 2021  mendatangkan hujan lebat dan banjir yang meluas di seluruh negeri. Di Amerika Serikat Badai Ida menewaskan sedikitnya 45 orang dari Maryland hingga New York. Di China mengalami badai pasir terburuk dalam satu dekade pada Maret 2021.

Kanada mengalami gelombang panas pada Juni 2021, menewaskan 569 orang di provinsi paling barat Kanada British Columbia selama 5 hari. Jerman Barat dan Belgia mengalami banjir pada Juli 2021 dan menenggelamkan kota-kota dataran rendah di wilayah itu untuk pertama kalinya dalam 60 tahun. Di Jerman, sedikitnya 170 orang tewas dalam bencana alam terparah yang melanda negara Eropa itu dalam beberapa dasawarsa. Sedikitnya 8 orang tewas ketika kebakaran hutan melanda beberapa daerah Turki pada Juli dan Agustus 2021.

Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim menghimbau dunia dalam menangangi krisis iklim. Dalam KTT yang dilaksanakan secara daring pada 2021 tersebut Indonesia menunjukkan keseriusan dalam menangangi perubahan iklim. Begitu juga dengan sejumlah pemimpin dunia. Mereka juga berupaya untuk mencapai kesepakatan dalam sejumlah pertemuan pemimpin dunia untuk menangani perubahan iklim. Tapi, apakah pemimpin G20 bbenar-benar serius dalam menangani perubahan iklim?

Selamatkan Hutan

Pada 2015, pemimpin dunia berjanji memperlambat laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius, atau paling ideal 1,5 derajat Celcius. Namun saat ini dunia sedang mengarah pada level kenaikan sebesar 3 derajat Celcius, menurut lembaga Jerman, Climate Action Tracker. Meski sasaran 1,5 Celcius akan gagal tercapai dalam beberapa dekade ke depan, rata-rata suhu bumi bisa dikembalikan ke level aman pada akhir abad dengan menerapkan pengurangan emisi yang ekstrem. Selain dekarbonasi ekonomi, rencana itu juga melibatkan upaya penyedotan CO2 dari atmosfer Bumi. Tapi teknologi yang dibutuhkan masih sedemikian mahal, sehingga cara ini diragukan bisa ampuh dalam skala yang dibutuhkan.

Untuk itu, sangatlah wajar berkesimpulan solusi paling praktis untuk mencegah kenaikan suhu adalah dengan menyelamatkan hutan. Hutan-hutan yang masih tersisa di dunia harus dilindungi. Jika para pemimpin dunia benar-benar serius untuk menangani perubahan iklim, mereka harus bertanggung jawab dalam melestarikan hutan yang tersisa. Sebagai negara bagian G20 yang masih memiliki hutan lebat, Indonesia berperan besar menunjukkan keseriusan tersebut. Khususnya dalam menjaga hutan hujan tropis dan mangrove.

Berdasarkan data dari KLHS dan berbagai sumber, jika dibandingkan dengan global. Hutan bakau Papua mencapai 1.053.843 hektar dibandingkan dunia 15.330.000 hektar. Jika dipersentasikan, Papua sendiri mewakili hampir 7 persen dari total mangrove di dunia. Papua juga mewakili lebih dari 30 persen total mangrove di Indonesia. Kontribusi Papua terhadap Indonesia dan global begitu besar.

Sekecil apapun penggundulan hutan di Papua, itu berimbas ke  Indonesia serta mendunia. Khususnya mengingat hutan serta laut di Indonesia Timur merupakan benteng terakhir untuk menjaga cuaca. Hutan dan ekosistem lautnya yang sangat melimpah mampu menghasilkan oksigen yang kita hirup dan menyimpan polusi karbon yang kita hasilkan. Namun, keberadaan hutan dan laut di Indonesia Timur tak bebas dari ancaman kata EcoNusa Foundation.




Bila terus dibiarkan, kekhawatiran akan terjadi di seluruh bagian Indonesia, karena Hutan Papua dan Maluku merupakan benteng terakhir di Indonesia. Berbeda dengan di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa yang hutannya sudah rusak. Kerusakan tersebut secara tidak langsung berkontribusi terhadap krisis iklim yang dampaknya sudah bisa dirasakan, seperti cuaca yang tidak menentu, banjir besar yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera, serta badai tropis yang semakin dekat menuju khatulistiwa. Semoga dalam KTT G20 ini, isu iklim benar-benar mendapat perhatian serius. Kawasan Hutan di Indonesia Timur juga masuk dalam bagian perhatian Pemerintah Indonesia.

Oleh: Damayanti.

Warga biasa dan bukan siapa-siapa. Suka menulis apa saja dalam benak. Iklim jadi salah satu topik yang sangat ku pedulikan. Dulu suka topik keuangan sekarang lebih suka topik mengenai alam dan hutan. Tanpa alam khususnya tanpa hutan dan oksigen, kita tidak bisa hidup. Tanpa uang kita masih bisa hidup.

Betapa Aku Mencintai Hutan Papua

Betapa Aku Mencintai Papua

Bahas tentang Papua itu benar-benar seru. Papua terdiri dari banyak etnis. Aku belajar memahami banyak bahasa di sini. Di Sorong aku memahami betapa perbedaan itu memberikan warna dalam hidup. Khususnya selama di bangku SMA, pertemananlah yang membuat hidupku begitu seru.

Semasa SMP aku lebih banyak diam dan tidak begitu menunjukkan jati diriku. Aku masih perlu beradaptasi dengan lingkungan baru. Memasuki SMA, khususnya kelas 2 SMA aku punya teman-teman gokil yang buatku melepas aura asliku.

Apalagi semasa aku menjabat sebagai Bendahara di kelas, itu masa paling penuh cerita. Bisa dibilang aku paling suka berkorban buat teman. Lagu “Anak Medan” memang cocok menggambarkan diriku yang rela korbankan apa saja buat teman.

Dulu, kami selalu merindukan bisa pergi bersama ke Pantai Tanjung Kasuari, khususnya saat perpisahan kelas 3 SMA. Tapi sayangnya pada saat acara perpisahan aku tidak bisa ikutan kawan-kawan ke pantai.

 




Hutan Papua

            Sekalipun Sorong-Papua itu panas karena katanya tanahnya mengandung minyak, hutan di Papua itu sangat lebat. Aku masih ingat saat sering dibawa kerabat ke Aimas, dan daerah-daerah pelosok lainnya di Papua, hutannya sangat lebat. Di sekitar lokasi itu memang sudah ada perusahaan-perusahaan kayu dan pengeboran minyak.

            Masa itu karena masih SMA, aku belum terlalu peduli dan serius mengetahui kondisi hutan, cuaca, iklim dan sebagainya. Sekarang, karena melihat dan merasakan sendiri dampak cuaca yang panas, aku terpikir untuk mencari tahu akan hal itu.

            Belakangan, aku sangat peduli dengan kondisi hutan. Tidak hanya hutan di Kawasan Danau Toba, begitu juga dengan Hutan di Papua, karena aku sangat mencintai Papua. Punya cita-cita untuk menginjakkan kaki kembali ke Tanah Papua.

            Sekecil apapun penggundulan hutan di Papua, itu berimbas ke  Indonesia serta mendunia. Khususnya mengingat hutan serta laut di Indonesia Timur merupakan benteng terakhir untuk menjaga cuaca. Hutan dan ekosistem lautnya yang sangat melimpah mampu menghasilkan oksigen yang kita hirup dan menyimpan polusi karbon yang kita hasilkan. Namun, keberadaan hutan dan laut di Indonesia Timur tak bebas dari ancaman kata EcoNusa Foundation.

Bila terus dibiarkan, kekhawatiran akan terjadi di seluruh bagian Indonesia, karena Hutan Papua dan Maluku merupakan benteng terakhir di Indonesia. Berbeda dengan di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa yang hutannya sudah rusak. Kerusakan tersebut secara tidak langsung berkontribusi terhadap krisis iklim yang dampaknya sudah bisa dirasakan, seperti cuaca yang tidak menentu, banjir besar yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera, serta badai tropis yang semakin dekat menuju khatulistiwa.

Bayangkan apabila hutan di Timur Indonesia juga rusak? Mungkin saja badai tropis bisa semakin mendekat ke arah khatulistiwa dan menjadi bencana rutin setiap tahunnya di tempat tinggal kita. Maka dari itu, menjaga lingkungan yang ada di daerah Indonesia Timur, khususnya Tanah Papua dan Kepulauan Maluku sama saja dengan menjaga keberlangsungan hidup kita di masa mendatang.

Upaya Econusa

Ada banyak hal yang dapat dikembangkan dari hutan. Di hutan, kita dapat membudidayakan tanaman pangan. Hutan juga dapat dijadikan lokasi wisata bagi mereka yang mencintai alam. Untuk itu, saya senang melihat upaya Econusa memberdayakan masyarakat Indonesia Timur dalam memanfaatkan hutan, khususnya pemanfaatannya sebagai Ekowisata dan Agroforestri.

Econusa dalam webistenya menyatakan ekowisata menjadi salah satu alternatif cara yang dapat dilakukan untuk tetap menjaga keberadaan hutan di Indonesia. Pemanfaatan jasa lingkungan melalui ekowisata menjadikan hutan tetap lestari, menghentikan pembalakan liar dan perburuan, sementara di sisi lain masyarakat menerima manfaat finansial. Ekowisata memberikan jawaban pengelolaan hutan yang partisipatif di mana masyarakat terlibat secara langsung.

Potensi ekowisata di Papua dan Papua Barat sangat melimpah. Raja Ampat menawarkan wisata diving dan homestay, wisata mangrove di Teluk Bintuni, pengamatan burung di Pegunungan Arfak, wisata budaya dan pendakian gunung di Kaimana, wisata danau di Paniai, seni ukir di Asmat, festival Lembah Baliem di Jayawijaya, Teluk Sarwandori di Kepulauan Yapen. Kelak, jika aku kembali ke Papua, aku ingin bisa berekowisata ke berbagai tempat di sini.

 


           

 

 

Seriuskah Kita Menangani Perubahan Iklim?

            Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim menghimbau dunia dalam menangangi krisis iklim. Dalam KTT yang dilaksanakan secara daring pada 2021 tersebut Indonesia menunjukkan keseriusan dalam menangangi perubahan iklim. Tapi, apakah Indonesia benar-benar serius dalam menangani perubahan iklim?

Meski Presiden Indonesia mengatakan laju deforestasi di Indonesia berada pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir, suhu global terutama Indonesia masih terus meningkat. Deforestasi masih menjadi pemicu utama penyebab kenaikan suhu. Salah satu angka deforestasi terbesar terjadi di Indonesia bagian Timur, khususnya Papua.

Hutan-Hutan Babak Belur

            Dilansir dari wanaswara.com, selama periode 2001-2019, 57.000 hektar hutan di Papua telah dibuka dan dijadikan sebagai lahan perkebunan sawit. Pembakaran hutan yang disinyalir terjadi akibat ulah perusahaan-perusahan besar yang bermukim di Papua. Lain lagi wacana lahan pangan terintegrasi (food estate) sejak September 2020. Tentu hutan-hutan akan semakin babak belur. Jadi pertanyaannya, seriuskah pemerintah dalam menangani krisis iklim atau itu hanya di bibir saja?


Sekecil apapun deforestasi di Papua, itu akan berdampak terhadap Indonesia dan global. Foto @Econusa


Tahun ke tahun suhu di Indonesia meningkat. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika menyatakan tahun 2016 merupakan tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,8 °C sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020. Tahun 2021 sendiri menempati urutan ke-8 tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,4 °C. Tahun 2020 dan 2019 berada di peringkat kedua dan ketiga dengan nilai anomali sebesar 0,7 °C dan 0.6 °C.

Sebagai perbandingan, informasi suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) di laporan terakhirnya pada awal Desember 2020 juga menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama). Fakta kenaikan suhu tiap tahun ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi semua orang. Sebab, semua orang terkena dampak perubahan iklim.

Dampak Deforestasi

            Bumi dan kehidupan di atasnya, sangat kompleks, terjalin dengan rumit. Jutaan makhluk hidup yang saling berhubungan disebut sebagai jaring kehidupan. Putuskan seutas benang pada jaring itu maka jaring itu akan terurai. Begitulah illustrasi untuk menggambarkan dampak deforestasi. Hutan dirambah habis-habisan, bencana muncul, temperatur meningkat, bumi rasanya ‘dipanggang’ dan sejumlah penyakit muncul.

Dampak Deforestasi terhadap suhu bumi


            Selama 2021- 2022, terjadi bencana di berbagai tempat di Indonesia. Gempa bumi dan banjir di beberapa tempat. Di beberapa daerah, cuaca tersebut mengubah sungai menjadi kubangan, sedangkan di daerah lain, hal itu menyebabkan hujan dan banjir yang meninggalkan genangan air.

Dalam kedua kasus itu, genangan air berfungsi sebagai tempat yang sempurna bagi nyamuk untuk berkembang biak. Cuaca yang lebih panas juga mempersingkat siklus perkembangbiakan nyamuk, mempercepat tingkat reproduksi mereka, dan memperpanjang musim nyamuk. Nyamuk lebih aktif dalam cuaca yang lebih hangat. Temperatur yang lebih panas bahkan merembes ke dalam perut nyamuk dan mengintensifkan tingkat reproduksi mikroba penyebab penyakit. Selain itu, akibat cuaca tidak menentu, muncul berbagai penyakit yang umum dijumpai seperti batuk, flu, demam, dan sebagainya.

            Sekecil apapun deforestasi di Papua, itu akan berdampak terhadap Indonesia dan global. Apalagi mengingat bentang hutan dan laut di Indonesia Timur berperan penting dalam menjaga iklim. Hutan dan ekosistem lautnya yang sangat melimpah mampu menghasilkan oksigen yang kita hirup dan menyimpan polusi karbon yang kita hasilkan. Namun, keberadaan hutan dan laut di Indonesia Timur tak bebas dari ancaman kata  EcoNusa Foundation

Bila terus dibiarkan, kekhawatiran akan terjadi di seluruh bagian Indonesia, karena Hutan Papua dan Maluku merupakan benteng terakhir di Indonesia. Berbeda dengan di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa yang hutannya sudah rusak. Kerusakan tersebut secara tidak langsung berkontribusi terhadap krisis iklim yang dampaknya sudah bisa dirasakan, seperti cuaca yang tidak menentu, banjir besar yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera, serta badai tropis yang semakin dekat menuju khatulistiwa.

Bayangkan apabila hutan di Timur Indonesia juga rusak? Mungkin saja badai tropis bisa semakin mendekat ke arah khatulistiwa dan menjadi bencana rutin setiap tahunnya di tempat tinggal kita. Maka dari itu, menjaga lingkungan yang ada di daerah Indonesia Timur, khususnya Tanah Papua dan Kepulauan Maluku sama saja dengan menjaga keberlangsungan hidup kita di masa mendatang.

Upaya Nyata

            Sudah paling pasti solusi guna menangani krisis iklim adalah menghentikan penggundulan hutan. Melibatkan masyarakat, khususnya masyarakat setempat untuk menghentikan bahkan melarang upaya oknum tertentu dalam menebang hutan. Memiliki gaya hidup yang ramah lingkungan. Salah satu contohnya, tidak membiarkan listrik hidup terus padahal tidak dipakai. Selain itu, penghijauan perlu untuk terus digalakkan dimanapun tidak hanya terbatas di Indonesia Timur, tapi di seluruh dunia.

Menanam kembali tanah yang sudah kosong atau tandus merupakan solusi terbaik dan paling pasti. Sebab, kelanjutan hidup manusia dari generasi ke generasi bergantung pada makanan, pakaian, dan pernaungan. Itu semua berasal dari hutan-hutan yang menghasilkan berbagai produk. Maka tidak berlebihan bila pohon-pohon digambarkan sebagai pabrik ramah lingkungan dan tidak menghasilkan limbah.

Sebuah pabrik dikatakan sempurna jika itu tidak mencemari lingkungan, tidak mahal, dan menghasilkan kebutuhan vital seluruh umat manusia. Dengan bahan bakar sinar matahari, tumbuhan hijau menggunakan karbondioksida, air, dan mineral untuk menghasilkan makanan, secara langsung atau tidak langsung, bagi hampir semua kehidupan di bumi. Dalam proses ini, mereka mengisi kembali atmosfer, menyingkirkan karbondioksida dan melepaskan oksigen murni.

Banyak pebisnis lebih menyukai menginvestasikan dana mereka ke bisnis perkebunan sawit, ekaliptus dan sejenisnya. Sebenarnya, untuk saat ini mengingat hutan semakin berkurang, investasi terbaik adalah menanam berbagai jenis pohon berbuah. Entah itu di lahan sendiri atau lahan umum. Karena pohon berbuah akan memberikan imbal hasil dalam jangka panjang ke semua orang. Tidak hanya kepada para pebisnis. Juga kepada seluruh orang yang menikmati segarnya duduk di bawah pohon dan menikmati buahnya.

Ada banyak hal yang dapat dikembangkan dari hutan. Di hutan, kita dapat membudidayakan tanaman pangan. Hutan juga dapat dijadikan lokasi wisata bagi mereka yang mencintai alam. Bisa juga dijadikan sebagai lokasi budidaya ikan seperti lele dan gabus. Namun, dibutuhkan orang yang benar-benar sabar, hobi terhadap tanaman dan hewan, dan mencintai alam, untuk menjadikannya sumber penghasilan. Untuk itu, saya senang melihat upaya Econusa memberdayakan masyarakat Indonesia Timur dalam memanfaatkan hutan, khususnya pemanfaatannya sebagai Ekowisata dan Agroforestri.

Pemanfaatan Hutan jadi Ekowisata @Econusa


Easy Go Tour Travel Offers the Cheapest Packages to Explore Lake Toba

   Detail Information about the destinations Talking about Lake Toba is not limited to its waters. Lake Toba has many untold riches. One of ...