Tampilkan postingan dengan label G20. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label G20. Tampilkan semua postingan

Menanti G20 Cegah Bencana Global

Menanti G20 Cegah Bencana Global    

Tahun demi tahun bencana semakin meningkat. Dalam laporan Global Natural Disaster Assessment Report yang mencatat bencana tahun 1990 hingga 2020, grafik menunjukkan  peningkatan  signifikan.  Pada  2020,  ada  193  bencana  banjir  besar terjadi di beberapa tempat di dunia, menyebabkan 6.171 kematian. Ada 33,22 juta orang terkena dampak akibat banjir pada tahun tersebut. Pada 2019 ada 29,63 juta orang terkena dampak banjir.  Dibandingkan  dengan  rata-rata  selama  30  tahun  terakhir  (1990-2019), frekuensi  bencana banjir meningkat 43% pada  tahun  2020.  Dibandingkan  dengan rata-rata selama 10 tahun terakhir (2010-2019), frekuensi bencana banjir meningkat sebesar 33 persen pada 2020. Jumlah kematian akibat bencana 22% lebih banyak. 

Tahun 2021 tercatat setidaknya 10 bencana alam mematikan. Dari 10 bencana alam mematikan tersebut, terdapat di 7 negara G20 di antaranya di Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, China, Kanada, Jerman, dan Turki, yang merupakan negara anggota G20. Fakta ini seharusnya mendapat perhatian serius dari pemimpin G20.  Bencana  alam  terus  meningkatkan  sejalan  dengan  peningkatan  populasi penduduk. Namun, faktor kebrutalan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam turut memperparahnya. Menurut sejumlah ilmuwan, perubahan pada atmosfer bumi  dan  samudra  akibat  ulah manusia telah menjadikan planet  kita  tempat yang berbahaya karena bencana alam terjadi semakin sering dan semakin parah. Jika tidak ada  upaya guna mengurangi penyebab bencana, penduduk bumi hanya  akan  sibuk membantu  korban  bencana  silih  berganti. 

Jika  tidak  ada  upaya mendesak  untuk  mengurangi  intensitas  bencana,  kita  hanya  akan  sibuk  untuk membantu korban banjir dan dana terkuras untuk ‘mengobati daripada mencegah’. Bukankah  lebih  baik  upaya  dan  dana  difungsikan  secara  memaksimalkan  untuk mencegah bencana itu sendiri?

Untuk itu, sangatlah wajar berkesimpulan solusi paling praktis untuk mencegah bencana adalah dengan berinvestasi pada hutan. Maksudnya, menjaga, melestarikan dan memperbesar luas hutan yang ada, khususnya yang ada di negara-negara G20. Ini termasuk menghutankan kembali daerah yang sudah gundul dan kritis.  Apalagi mengingat hutan terbesar di dunia juga ada di negara G20. Di antaranya di Rusia, AS, Tiongkok, Brazil, Kanada dan Indonesia.

Sasaran G20

Hal  lain  lagi  yang  penting  dilakukan  adalah  meningkatkan  kesadaran masyarakat  akan  pentingnya  hutan.  Masyarakat  sendiri  harus  tanpa  pepohonan mereka tidak bisa hidup. Masyarat, khususnya mereka yang hidup dekat hutan perlu diajarkan  cara  memanfaatkan  lahan  hutan  tanpa  harus  melenyapkan pephonan di sana. Dua program pemanfaatan hutan di antaranya ekowisata dan agroforestri.

Jika  diartikan  secara  singkat,  ekowisata  artinya  wisata  alam.  Tapi,  secara lengkap  artinya  kegiatan  pariwisata  yang  berwawasan  lingkungan  dengan mengutamakan  aspek  konservasi  alam.  Program  ini  menghasilkan  peluang  bisnis bagi penduduk setempat sekaligus menunjang konservasi hutan. Di Rwanda, Afrika, promosi  ekowisata  yang  sukses  dianggap  telah  berhasil  menyelamatkan  populasi gorila  gunung  karena  hal  itu  memberi  penduduk  setempat  sumber  penghasilan alternatif  selain  perburuan  gelap.  Di seluruh dunia,  ekowisata  telah turut berperan dalam kemajuan lingkungan serta sosial, dan industri pariwisata tak dapat disangkal telah mendatangkan banyak keuntungan finansial. 

Selain  ekowisata,  program  agroforestri  juga  perlu  diajarkan  kepada masyarakat,  khususnya  mereka  yang  tinggal  dekat  hutan.  Program  agroforestri merupakan suatu sistem memadukan penanaman pohon dan tanaman pangan atau padang rumput dengan cara yang aman secara ekologi. Di Brazil, program ini berhasil menyelamatkan  hutan  hujan  tropis.  Para  agronom  di  sana  berharap  agar  seraya agroforestri semakin memasyarakat, penggundulan hutan pun semakin lambat. Lewat program ini, masyarakat diajak untuk mencintai hutan.

Mengingat ada sejumlah tempat-tempat menarik di negara-negara G20 yang ditetapkan sebagai Geopark (Taman Bumi), seharusnya pemberian gelar Geopark itu menjadi momentum untuk semakin melestarikan Geopark. Pemimpin G20, khususnya Indonesia  perlu  menggelorakan  semangat  menghijaukan  penanaman  pohon. Masyarakat  perlu  diajarkan  untuk  punya  kebun  sendiri  di  tiap  rumah  mereka. Sehingga tiap rumah ada pohon yang bisa membantu mengurangi pemanasan global


Peran Indonesia dan G20 terhadap Iklim Dunia

 

Peran Indonesia dan G20 terhadap Iklim Dunia

Tahun ke tahun suhu dunia meningkat. Dalam laporan World Meteorological Organization (WMO) pada awal Desember 2020 menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama). Dalam laporan Status Iklim Global sementara yang dikeluarkan oleh WMO juga menempatkan tahun 2020 menjadi salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.

Fakta kenaikan suhu tiap tahun ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi semua orang di bumi. Sebab, semua orang terkena dampak perubahan iklim. Melihat bencana meningkat dari tahun ke tahun, isu perubahan iklim menjadi topik paling penting untuk dibahas pada pertemuan G20.


Mangrove di Indonesia Timur berperan beear terhadap penyerapan karbon dunia foto: Econusa


Apalagi mengingat 12 bencana terbesar di dunia yang merenggut nyawa malah terjadi di negara-negara G20 pada 2021. Di antaranya di Indonesia lebih dari 150 orang tewas ketika Topan Seroja melanda NTT pada April 2021. Di Inggris Raya, Badai Christoph pada 18 Januari 2021  mendatangkan hujan lebat dan banjir yang meluas di seluruh negeri. Di Amerika Serikat Badai Ida menewaskan sedikitnya 45 orang dari Maryland hingga New York. Di China mengalami badai pasir terburuk dalam satu dekade pada Maret 2021.

Kanada mengalami gelombang panas pada Juni 2021, menewaskan 569 orang di provinsi paling barat Kanada British Columbia selama 5 hari. Jerman Barat dan Belgia mengalami banjir pada Juli 2021 dan menenggelamkan kota-kota dataran rendah di wilayah itu untuk pertama kalinya dalam 60 tahun. Di Jerman, sedikitnya 170 orang tewas dalam bencana alam terparah yang melanda negara Eropa itu dalam beberapa dasawarsa. Sedikitnya 8 orang tewas ketika kebakaran hutan melanda beberapa daerah Turki pada Juli dan Agustus 2021.

Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim menghimbau dunia dalam menangangi krisis iklim. Dalam KTT yang dilaksanakan secara daring pada 2021 tersebut Indonesia menunjukkan keseriusan dalam menangangi perubahan iklim. Begitu juga dengan sejumlah pemimpin dunia. Mereka juga berupaya untuk mencapai kesepakatan dalam sejumlah pertemuan pemimpin dunia untuk menangani perubahan iklim. Tapi, apakah pemimpin G20 bbenar-benar serius dalam menangani perubahan iklim?

Selamatkan Hutan

Pada 2015, pemimpin dunia berjanji memperlambat laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius, atau paling ideal 1,5 derajat Celcius. Namun saat ini dunia sedang mengarah pada level kenaikan sebesar 3 derajat Celcius, menurut lembaga Jerman, Climate Action Tracker. Meski sasaran 1,5 Celcius akan gagal tercapai dalam beberapa dekade ke depan, rata-rata suhu bumi bisa dikembalikan ke level aman pada akhir abad dengan menerapkan pengurangan emisi yang ekstrem. Selain dekarbonasi ekonomi, rencana itu juga melibatkan upaya penyedotan CO2 dari atmosfer Bumi. Tapi teknologi yang dibutuhkan masih sedemikian mahal, sehingga cara ini diragukan bisa ampuh dalam skala yang dibutuhkan.

Untuk itu, sangatlah wajar berkesimpulan solusi paling praktis untuk mencegah kenaikan suhu adalah dengan menyelamatkan hutan. Hutan-hutan yang masih tersisa di dunia harus dilindungi. Jika para pemimpin dunia benar-benar serius untuk menangani perubahan iklim, mereka harus bertanggung jawab dalam melestarikan hutan yang tersisa. Sebagai negara bagian G20 yang masih memiliki hutan lebat, Indonesia berperan besar menunjukkan keseriusan tersebut. Khususnya dalam menjaga hutan hujan tropis dan mangrove.

Berdasarkan data dari KLHS dan berbagai sumber, jika dibandingkan dengan global. Hutan bakau Papua mencapai 1.053.843 hektar dibandingkan dunia 15.330.000 hektar. Jika dipersentasikan, Papua sendiri mewakili hampir 7 persen dari total mangrove di dunia. Papua juga mewakili lebih dari 30 persen total mangrove di Indonesia. Kontribusi Papua terhadap Indonesia dan global begitu besar.

Sekecil apapun penggundulan hutan di Papua, itu berimbas ke  Indonesia serta mendunia. Khususnya mengingat hutan serta laut di Indonesia Timur merupakan benteng terakhir untuk menjaga cuaca. Hutan dan ekosistem lautnya yang sangat melimpah mampu menghasilkan oksigen yang kita hirup dan menyimpan polusi karbon yang kita hasilkan. Namun, keberadaan hutan dan laut di Indonesia Timur tak bebas dari ancaman kata EcoNusa Foundation.




Bila terus dibiarkan, kekhawatiran akan terjadi di seluruh bagian Indonesia, karena Hutan Papua dan Maluku merupakan benteng terakhir di Indonesia. Berbeda dengan di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa yang hutannya sudah rusak. Kerusakan tersebut secara tidak langsung berkontribusi terhadap krisis iklim yang dampaknya sudah bisa dirasakan, seperti cuaca yang tidak menentu, banjir besar yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera, serta badai tropis yang semakin dekat menuju khatulistiwa. Semoga dalam KTT G20 ini, isu iklim benar-benar mendapat perhatian serius. Kawasan Hutan di Indonesia Timur juga masuk dalam bagian perhatian Pemerintah Indonesia.

Oleh: Damayanti.

Warga biasa dan bukan siapa-siapa. Suka menulis apa saja dalam benak. Iklim jadi salah satu topik yang sangat ku pedulikan. Dulu suka topik keuangan sekarang lebih suka topik mengenai alam dan hutan. Tanpa alam khususnya tanpa hutan dan oksigen, kita tidak bisa hidup. Tanpa uang kita masih bisa hidup.

Mangrove Papua Berkontribusi Besar terhadap Iklim


Mangrove atau Hutan Bakau di Papua berkontribusi besar terhadap iklim dunia foto: Econusa

Mangrove atau hutan bakau berperan besar dalam menyerap emisi karbondioksia. Ilmuwan mengatakan daya serapnya terhadap karbondioksia lebih besar daripada hutan hujan. Kondisi iklim sekarang yang kacau balau mendesak dunia, khususnya pemerintah Indonesia untuk serius mempertahankan dan melestarikan mangrove.



Berdasarkan data dari KLHS dan berbagai sumber, jika dibandingkan dengan global. Hutan bakau Papua mencapai 1.053.843 hektar dibandingkan dunia 15.330.000 hektar. Jika dipersentasikan, Papua sendiri mewakili hampir 7 persen dari total mangrove di dunia. Papua juga mewakili lebih dari 30 persen total mangrove di Indonesia. Kontribusi Papua terhadap Indonesia dan global begitu besar. 

Hutan bakau Papua tidak hanya memberikan manfaat penyerapan emisi karbon dunia. Itu juga menjadi sumber mata pencaharian masyarakat. Ada banyak produk yang dihasilkan oleh warga setempat dari mangrove, seperti ikan, udang, dan aneka ragam lauk dari laut. Hutan bakau juga menyediakan bahan mentah untuk industri kertas, tekstil, kulit, dan bangunan. Selain itu, industri perikanan dan pariwisata juga mendapat manfaat darinya.

Terancam

Sekalipun memiliki segudang manfaat, luas hutan bakau terus menyusut. Sering kali, hutan bakau dibabat untuk menyediakan lahan bagi proyek-proyek yang tampaknya lebih menguntungkan, seperti pertanian dan perumahan. Banyak orang beranggapan bahwa rawa-rawa bakau hanyalah tempat yang berlumpur, berbau, dan menjadi sarang nyamuk, yang lebih baik disingkirkan.

Akan tetapi, sebenarnya, mengrove sangat bermanfaat, terlebih memelihara kehidupan. Akar-akar pohon yang khas mampu beradaptasi serta akar penyaring garamnya telah menghasilkan ekosistem yang kaya dan kompleks. Hutan bakau sangat penting bagi perikanan di pantai, industri barang-barang dari kayu, dan satwa liar.

Mangrovejuga melindungi daerah pantai dari erosi dengan meredam ganasnya amukan badai yang bisa saja menewaskan ribuan orang. Manfaat ini tidak bisa digantikan oleh apapun dan tidak ada tawar-menawar khususnya menyangkut nyawa manusia.

Keseriusan Pemerintah

Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim menghimbau dunia dalam menangangi krisis iklim. Dalam KTT yang dilaksanakan secara daring pada 2021 tersebut Indonesia menunjukkan keseriusan dalam menangangi perubahan iklim.

Tahun-tahun sebelumnya, pemerintah dunia juga menjadikan iklim sebagai isu paling penting dalam KTT. Salah satunya Perjanjian Paris 2015 pada KTT G20. Para pemimpin negara-negara G20 juga telah berkomitmen untuk mencapai netralitas karbon pada pertengahan abad 21.



Banyak KTT telah dilaksanakan dan perjanjian ditetapkan. Tapi, kita seolah pesismis, dan menantikan keseriusan pemerintah dunia, khususnya dunia dalam menyelamatkan iklim. Kita berharap pemerintah serius menangani masalah iklim. Serius dalam menjaga, merawat dan melestarikan hutan bakau. jasa hutan bakau jauh lebih besar daripada nilai bisnis apapun. Sebab, ketika bumi ini ‘sakit’, kita hanya akan melihat bencana terjadi dimana-mana. Bahkan sekarang, kita sudah mendengar bencana terjadi dimana-mana. Tidak hanya di Indonesia, begitu juga di beberapa negara.

 

Samosir Pilihan Terbaik bagi Kamu Berpetualang Jelajahi Eksotisme Danau Toba

Danau Toba sangat luas. Terdiri dari 8 kabupaten. Jika kamu hanya punya libur dua hari rasanya tak cukup untuk eksplorasi banyak hal di Dana...