Tampilkan postingan dengan label DefendingParadise. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DefendingParadise. Tampilkan semua postingan

Apa yang Terjadi setelah Geopark Kaldera Toba?

Pencapaian KDT usai Menyandang Geopark

         

Perjuangan panjang agar Kawasan Danau Toba (KDT) memperoleh gelar Geopark begitu luar biasa. Euforia meluap di banyak tempat setelah  Dewan Eksekutif UNESCO dalam sidangnya di Paris Selasa 2 Juli 2020 menetapkan Kawasan Danau Toba sebagai Geopark. Tapi setelah mendapat gelar Geopark dari UNESCO, pada 13 Mei 2021 terjadi banjir bandang di Parapat, persis berdekatan dengan tulisan Geopark di Sibaganding.

Di saat yang sama sektor wisata lesu akibat dampak pandemi Corona. Selama Febuari 2020 hingga Februari 2022, angka wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara ke Danau Toba, merosot. Ekspektasi bahwa kunjungan wisman mancanegara akan meningkat setelah mendapat pengakuan dari UNECO pun sirna.


Berikut hasil reportase Kelompok 9 Youth Digital Campaigner Econusa

Stop Penebangan Hutan di Kawasan Danau Toba! 

Kelompok 9 diantaranya:

@putrimeltaa

@dea.aswani_ 

@noer_qholip99

@damayantisimanjorang

@miss_hannysigo90

@ekowisatahgp

@ruangkontribusi.id


#GeoparkKalderaToba    JagaGeopark #MasihkahGelarGeopark     

#DanauToba        #StopPenebanganHutan

#StopDeforestasi   #Sitahoan    #GirsangSipanganbolon   #Parapat  

#GeoparkKokBegini?     #KTHHarangan #Youthdigitalcampaigner   #Econusa

#Beradatjagahutan      #defendingparadise

#KawasanDanauToba   #ClimateChange

#G20ClimateChange     #UnescoGeopark

#PegununganBukitBarisan  #WorldHeritage

#WarisanHutanHujanTropis  #JagaWarisan


Peran Indonesia dan G20 terhadap Iklim Dunia

 

Peran Indonesia dan G20 terhadap Iklim Dunia

Tahun ke tahun suhu dunia meningkat. Dalam laporan World Meteorological Organization (WMO) pada awal Desember 2020 menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama). Dalam laporan Status Iklim Global sementara yang dikeluarkan oleh WMO juga menempatkan tahun 2020 menjadi salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.

Fakta kenaikan suhu tiap tahun ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi semua orang di bumi. Sebab, semua orang terkena dampak perubahan iklim. Melihat bencana meningkat dari tahun ke tahun, isu perubahan iklim menjadi topik paling penting untuk dibahas pada pertemuan G20.


Mangrove di Indonesia Timur berperan beear terhadap penyerapan karbon dunia foto: Econusa


Apalagi mengingat 12 bencana terbesar di dunia yang merenggut nyawa malah terjadi di negara-negara G20 pada 2021. Di antaranya di Indonesia lebih dari 150 orang tewas ketika Topan Seroja melanda NTT pada April 2021. Di Inggris Raya, Badai Christoph pada 18 Januari 2021  mendatangkan hujan lebat dan banjir yang meluas di seluruh negeri. Di Amerika Serikat Badai Ida menewaskan sedikitnya 45 orang dari Maryland hingga New York. Di China mengalami badai pasir terburuk dalam satu dekade pada Maret 2021.

Kanada mengalami gelombang panas pada Juni 2021, menewaskan 569 orang di provinsi paling barat Kanada British Columbia selama 5 hari. Jerman Barat dan Belgia mengalami banjir pada Juli 2021 dan menenggelamkan kota-kota dataran rendah di wilayah itu untuk pertama kalinya dalam 60 tahun. Di Jerman, sedikitnya 170 orang tewas dalam bencana alam terparah yang melanda negara Eropa itu dalam beberapa dasawarsa. Sedikitnya 8 orang tewas ketika kebakaran hutan melanda beberapa daerah Turki pada Juli dan Agustus 2021.

Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim menghimbau dunia dalam menangangi krisis iklim. Dalam KTT yang dilaksanakan secara daring pada 2021 tersebut Indonesia menunjukkan keseriusan dalam menangangi perubahan iklim. Begitu juga dengan sejumlah pemimpin dunia. Mereka juga berupaya untuk mencapai kesepakatan dalam sejumlah pertemuan pemimpin dunia untuk menangani perubahan iklim. Tapi, apakah pemimpin G20 bbenar-benar serius dalam menangani perubahan iklim?

Selamatkan Hutan

Pada 2015, pemimpin dunia berjanji memperlambat laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius, atau paling ideal 1,5 derajat Celcius. Namun saat ini dunia sedang mengarah pada level kenaikan sebesar 3 derajat Celcius, menurut lembaga Jerman, Climate Action Tracker. Meski sasaran 1,5 Celcius akan gagal tercapai dalam beberapa dekade ke depan, rata-rata suhu bumi bisa dikembalikan ke level aman pada akhir abad dengan menerapkan pengurangan emisi yang ekstrem. Selain dekarbonasi ekonomi, rencana itu juga melibatkan upaya penyedotan CO2 dari atmosfer Bumi. Tapi teknologi yang dibutuhkan masih sedemikian mahal, sehingga cara ini diragukan bisa ampuh dalam skala yang dibutuhkan.

Untuk itu, sangatlah wajar berkesimpulan solusi paling praktis untuk mencegah kenaikan suhu adalah dengan menyelamatkan hutan. Hutan-hutan yang masih tersisa di dunia harus dilindungi. Jika para pemimpin dunia benar-benar serius untuk menangani perubahan iklim, mereka harus bertanggung jawab dalam melestarikan hutan yang tersisa. Sebagai negara bagian G20 yang masih memiliki hutan lebat, Indonesia berperan besar menunjukkan keseriusan tersebut. Khususnya dalam menjaga hutan hujan tropis dan mangrove.

Berdasarkan data dari KLHS dan berbagai sumber, jika dibandingkan dengan global. Hutan bakau Papua mencapai 1.053.843 hektar dibandingkan dunia 15.330.000 hektar. Jika dipersentasikan, Papua sendiri mewakili hampir 7 persen dari total mangrove di dunia. Papua juga mewakili lebih dari 30 persen total mangrove di Indonesia. Kontribusi Papua terhadap Indonesia dan global begitu besar.

Sekecil apapun penggundulan hutan di Papua, itu berimbas ke  Indonesia serta mendunia. Khususnya mengingat hutan serta laut di Indonesia Timur merupakan benteng terakhir untuk menjaga cuaca. Hutan dan ekosistem lautnya yang sangat melimpah mampu menghasilkan oksigen yang kita hirup dan menyimpan polusi karbon yang kita hasilkan. Namun, keberadaan hutan dan laut di Indonesia Timur tak bebas dari ancaman kata EcoNusa Foundation.




Bila terus dibiarkan, kekhawatiran akan terjadi di seluruh bagian Indonesia, karena Hutan Papua dan Maluku merupakan benteng terakhir di Indonesia. Berbeda dengan di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa yang hutannya sudah rusak. Kerusakan tersebut secara tidak langsung berkontribusi terhadap krisis iklim yang dampaknya sudah bisa dirasakan, seperti cuaca yang tidak menentu, banjir besar yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera, serta badai tropis yang semakin dekat menuju khatulistiwa. Semoga dalam KTT G20 ini, isu iklim benar-benar mendapat perhatian serius. Kawasan Hutan di Indonesia Timur juga masuk dalam bagian perhatian Pemerintah Indonesia.

Oleh: Damayanti.

Warga biasa dan bukan siapa-siapa. Suka menulis apa saja dalam benak. Iklim jadi salah satu topik yang sangat ku pedulikan. Dulu suka topik keuangan sekarang lebih suka topik mengenai alam dan hutan. Tanpa alam khususnya tanpa hutan dan oksigen, kita tidak bisa hidup. Tanpa uang kita masih bisa hidup.

Mangrove Papua Berkontribusi Besar terhadap Iklim


Mangrove atau Hutan Bakau di Papua berkontribusi besar terhadap iklim dunia foto: Econusa

Mangrove atau hutan bakau berperan besar dalam menyerap emisi karbondioksia. Ilmuwan mengatakan daya serapnya terhadap karbondioksia lebih besar daripada hutan hujan. Kondisi iklim sekarang yang kacau balau mendesak dunia, khususnya pemerintah Indonesia untuk serius mempertahankan dan melestarikan mangrove.



Berdasarkan data dari KLHS dan berbagai sumber, jika dibandingkan dengan global. Hutan bakau Papua mencapai 1.053.843 hektar dibandingkan dunia 15.330.000 hektar. Jika dipersentasikan, Papua sendiri mewakili hampir 7 persen dari total mangrove di dunia. Papua juga mewakili lebih dari 30 persen total mangrove di Indonesia. Kontribusi Papua terhadap Indonesia dan global begitu besar. 

Hutan bakau Papua tidak hanya memberikan manfaat penyerapan emisi karbon dunia. Itu juga menjadi sumber mata pencaharian masyarakat. Ada banyak produk yang dihasilkan oleh warga setempat dari mangrove, seperti ikan, udang, dan aneka ragam lauk dari laut. Hutan bakau juga menyediakan bahan mentah untuk industri kertas, tekstil, kulit, dan bangunan. Selain itu, industri perikanan dan pariwisata juga mendapat manfaat darinya.

Terancam

Sekalipun memiliki segudang manfaat, luas hutan bakau terus menyusut. Sering kali, hutan bakau dibabat untuk menyediakan lahan bagi proyek-proyek yang tampaknya lebih menguntungkan, seperti pertanian dan perumahan. Banyak orang beranggapan bahwa rawa-rawa bakau hanyalah tempat yang berlumpur, berbau, dan menjadi sarang nyamuk, yang lebih baik disingkirkan.

Akan tetapi, sebenarnya, mengrove sangat bermanfaat, terlebih memelihara kehidupan. Akar-akar pohon yang khas mampu beradaptasi serta akar penyaring garamnya telah menghasilkan ekosistem yang kaya dan kompleks. Hutan bakau sangat penting bagi perikanan di pantai, industri barang-barang dari kayu, dan satwa liar.

Mangrovejuga melindungi daerah pantai dari erosi dengan meredam ganasnya amukan badai yang bisa saja menewaskan ribuan orang. Manfaat ini tidak bisa digantikan oleh apapun dan tidak ada tawar-menawar khususnya menyangkut nyawa manusia.

Keseriusan Pemerintah

Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim menghimbau dunia dalam menangangi krisis iklim. Dalam KTT yang dilaksanakan secara daring pada 2021 tersebut Indonesia menunjukkan keseriusan dalam menangangi perubahan iklim.

Tahun-tahun sebelumnya, pemerintah dunia juga menjadikan iklim sebagai isu paling penting dalam KTT. Salah satunya Perjanjian Paris 2015 pada KTT G20. Para pemimpin negara-negara G20 juga telah berkomitmen untuk mencapai netralitas karbon pada pertengahan abad 21.



Banyak KTT telah dilaksanakan dan perjanjian ditetapkan. Tapi, kita seolah pesismis, dan menantikan keseriusan pemerintah dunia, khususnya dunia dalam menyelamatkan iklim. Kita berharap pemerintah serius menangani masalah iklim. Serius dalam menjaga, merawat dan melestarikan hutan bakau. jasa hutan bakau jauh lebih besar daripada nilai bisnis apapun. Sebab, ketika bumi ini ‘sakit’, kita hanya akan melihat bencana terjadi dimana-mana. Bahkan sekarang, kita sudah mendengar bencana terjadi dimana-mana. Tidak hanya di Indonesia, begitu juga di beberapa negara.

 

Betapa Aku Mencintai Hutan Papua

Betapa Aku Mencintai Papua

Bahas tentang Papua itu benar-benar seru. Papua terdiri dari banyak etnis. Aku belajar memahami banyak bahasa di sini. Di Sorong aku memahami betapa perbedaan itu memberikan warna dalam hidup. Khususnya selama di bangku SMA, pertemananlah yang membuat hidupku begitu seru.

Semasa SMP aku lebih banyak diam dan tidak begitu menunjukkan jati diriku. Aku masih perlu beradaptasi dengan lingkungan baru. Memasuki SMA, khususnya kelas 2 SMA aku punya teman-teman gokil yang buatku melepas aura asliku.

Apalagi semasa aku menjabat sebagai Bendahara di kelas, itu masa paling penuh cerita. Bisa dibilang aku paling suka berkorban buat teman. Lagu “Anak Medan” memang cocok menggambarkan diriku yang rela korbankan apa saja buat teman.

Dulu, kami selalu merindukan bisa pergi bersama ke Pantai Tanjung Kasuari, khususnya saat perpisahan kelas 3 SMA. Tapi sayangnya pada saat acara perpisahan aku tidak bisa ikutan kawan-kawan ke pantai.

 




Hutan Papua

            Sekalipun Sorong-Papua itu panas karena katanya tanahnya mengandung minyak, hutan di Papua itu sangat lebat. Aku masih ingat saat sering dibawa kerabat ke Aimas, dan daerah-daerah pelosok lainnya di Papua, hutannya sangat lebat. Di sekitar lokasi itu memang sudah ada perusahaan-perusahaan kayu dan pengeboran minyak.

            Masa itu karena masih SMA, aku belum terlalu peduli dan serius mengetahui kondisi hutan, cuaca, iklim dan sebagainya. Sekarang, karena melihat dan merasakan sendiri dampak cuaca yang panas, aku terpikir untuk mencari tahu akan hal itu.

            Belakangan, aku sangat peduli dengan kondisi hutan. Tidak hanya hutan di Kawasan Danau Toba, begitu juga dengan Hutan di Papua, karena aku sangat mencintai Papua. Punya cita-cita untuk menginjakkan kaki kembali ke Tanah Papua.

            Sekecil apapun penggundulan hutan di Papua, itu berimbas ke  Indonesia serta mendunia. Khususnya mengingat hutan serta laut di Indonesia Timur merupakan benteng terakhir untuk menjaga cuaca. Hutan dan ekosistem lautnya yang sangat melimpah mampu menghasilkan oksigen yang kita hirup dan menyimpan polusi karbon yang kita hasilkan. Namun, keberadaan hutan dan laut di Indonesia Timur tak bebas dari ancaman kata EcoNusa Foundation.

Bila terus dibiarkan, kekhawatiran akan terjadi di seluruh bagian Indonesia, karena Hutan Papua dan Maluku merupakan benteng terakhir di Indonesia. Berbeda dengan di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa yang hutannya sudah rusak. Kerusakan tersebut secara tidak langsung berkontribusi terhadap krisis iklim yang dampaknya sudah bisa dirasakan, seperti cuaca yang tidak menentu, banjir besar yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera, serta badai tropis yang semakin dekat menuju khatulistiwa.

Bayangkan apabila hutan di Timur Indonesia juga rusak? Mungkin saja badai tropis bisa semakin mendekat ke arah khatulistiwa dan menjadi bencana rutin setiap tahunnya di tempat tinggal kita. Maka dari itu, menjaga lingkungan yang ada di daerah Indonesia Timur, khususnya Tanah Papua dan Kepulauan Maluku sama saja dengan menjaga keberlangsungan hidup kita di masa mendatang.

Upaya Econusa

Ada banyak hal yang dapat dikembangkan dari hutan. Di hutan, kita dapat membudidayakan tanaman pangan. Hutan juga dapat dijadikan lokasi wisata bagi mereka yang mencintai alam. Untuk itu, saya senang melihat upaya Econusa memberdayakan masyarakat Indonesia Timur dalam memanfaatkan hutan, khususnya pemanfaatannya sebagai Ekowisata dan Agroforestri.

Econusa dalam webistenya menyatakan ekowisata menjadi salah satu alternatif cara yang dapat dilakukan untuk tetap menjaga keberadaan hutan di Indonesia. Pemanfaatan jasa lingkungan melalui ekowisata menjadikan hutan tetap lestari, menghentikan pembalakan liar dan perburuan, sementara di sisi lain masyarakat menerima manfaat finansial. Ekowisata memberikan jawaban pengelolaan hutan yang partisipatif di mana masyarakat terlibat secara langsung.

Potensi ekowisata di Papua dan Papua Barat sangat melimpah. Raja Ampat menawarkan wisata diving dan homestay, wisata mangrove di Teluk Bintuni, pengamatan burung di Pegunungan Arfak, wisata budaya dan pendakian gunung di Kaimana, wisata danau di Paniai, seni ukir di Asmat, festival Lembah Baliem di Jayawijaya, Teluk Sarwandori di Kepulauan Yapen. Kelak, jika aku kembali ke Papua, aku ingin bisa berekowisata ke berbagai tempat di sini.

 


           

 

 

Seriuskah Kita Menangani Perubahan Iklim?

            Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim menghimbau dunia dalam menangangi krisis iklim. Dalam KTT yang dilaksanakan secara daring pada 2021 tersebut Indonesia menunjukkan keseriusan dalam menangangi perubahan iklim. Tapi, apakah Indonesia benar-benar serius dalam menangani perubahan iklim?

Meski Presiden Indonesia mengatakan laju deforestasi di Indonesia berada pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir, suhu global terutama Indonesia masih terus meningkat. Deforestasi masih menjadi pemicu utama penyebab kenaikan suhu. Salah satu angka deforestasi terbesar terjadi di Indonesia bagian Timur, khususnya Papua.

Hutan-Hutan Babak Belur

            Dilansir dari wanaswara.com, selama periode 2001-2019, 57.000 hektar hutan di Papua telah dibuka dan dijadikan sebagai lahan perkebunan sawit. Pembakaran hutan yang disinyalir terjadi akibat ulah perusahaan-perusahan besar yang bermukim di Papua. Lain lagi wacana lahan pangan terintegrasi (food estate) sejak September 2020. Tentu hutan-hutan akan semakin babak belur. Jadi pertanyaannya, seriuskah pemerintah dalam menangani krisis iklim atau itu hanya di bibir saja?


Sekecil apapun deforestasi di Papua, itu akan berdampak terhadap Indonesia dan global. Foto @Econusa


Tahun ke tahun suhu di Indonesia meningkat. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika menyatakan tahun 2016 merupakan tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,8 °C sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020. Tahun 2021 sendiri menempati urutan ke-8 tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,4 °C. Tahun 2020 dan 2019 berada di peringkat kedua dan ketiga dengan nilai anomali sebesar 0,7 °C dan 0.6 °C.

Sebagai perbandingan, informasi suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) di laporan terakhirnya pada awal Desember 2020 juga menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama). Fakta kenaikan suhu tiap tahun ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi semua orang. Sebab, semua orang terkena dampak perubahan iklim.

Dampak Deforestasi

            Bumi dan kehidupan di atasnya, sangat kompleks, terjalin dengan rumit. Jutaan makhluk hidup yang saling berhubungan disebut sebagai jaring kehidupan. Putuskan seutas benang pada jaring itu maka jaring itu akan terurai. Begitulah illustrasi untuk menggambarkan dampak deforestasi. Hutan dirambah habis-habisan, bencana muncul, temperatur meningkat, bumi rasanya ‘dipanggang’ dan sejumlah penyakit muncul.

Dampak Deforestasi terhadap suhu bumi


            Selama 2021- 2022, terjadi bencana di berbagai tempat di Indonesia. Gempa bumi dan banjir di beberapa tempat. Di beberapa daerah, cuaca tersebut mengubah sungai menjadi kubangan, sedangkan di daerah lain, hal itu menyebabkan hujan dan banjir yang meninggalkan genangan air.

Dalam kedua kasus itu, genangan air berfungsi sebagai tempat yang sempurna bagi nyamuk untuk berkembang biak. Cuaca yang lebih panas juga mempersingkat siklus perkembangbiakan nyamuk, mempercepat tingkat reproduksi mereka, dan memperpanjang musim nyamuk. Nyamuk lebih aktif dalam cuaca yang lebih hangat. Temperatur yang lebih panas bahkan merembes ke dalam perut nyamuk dan mengintensifkan tingkat reproduksi mikroba penyebab penyakit. Selain itu, akibat cuaca tidak menentu, muncul berbagai penyakit yang umum dijumpai seperti batuk, flu, demam, dan sebagainya.

            Sekecil apapun deforestasi di Papua, itu akan berdampak terhadap Indonesia dan global. Apalagi mengingat bentang hutan dan laut di Indonesia Timur berperan penting dalam menjaga iklim. Hutan dan ekosistem lautnya yang sangat melimpah mampu menghasilkan oksigen yang kita hirup dan menyimpan polusi karbon yang kita hasilkan. Namun, keberadaan hutan dan laut di Indonesia Timur tak bebas dari ancaman kata  EcoNusa Foundation

Bila terus dibiarkan, kekhawatiran akan terjadi di seluruh bagian Indonesia, karena Hutan Papua dan Maluku merupakan benteng terakhir di Indonesia. Berbeda dengan di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa yang hutannya sudah rusak. Kerusakan tersebut secara tidak langsung berkontribusi terhadap krisis iklim yang dampaknya sudah bisa dirasakan, seperti cuaca yang tidak menentu, banjir besar yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera, serta badai tropis yang semakin dekat menuju khatulistiwa.

Bayangkan apabila hutan di Timur Indonesia juga rusak? Mungkin saja badai tropis bisa semakin mendekat ke arah khatulistiwa dan menjadi bencana rutin setiap tahunnya di tempat tinggal kita. Maka dari itu, menjaga lingkungan yang ada di daerah Indonesia Timur, khususnya Tanah Papua dan Kepulauan Maluku sama saja dengan menjaga keberlangsungan hidup kita di masa mendatang.

Upaya Nyata

            Sudah paling pasti solusi guna menangani krisis iklim adalah menghentikan penggundulan hutan. Melibatkan masyarakat, khususnya masyarakat setempat untuk menghentikan bahkan melarang upaya oknum tertentu dalam menebang hutan. Memiliki gaya hidup yang ramah lingkungan. Salah satu contohnya, tidak membiarkan listrik hidup terus padahal tidak dipakai. Selain itu, penghijauan perlu untuk terus digalakkan dimanapun tidak hanya terbatas di Indonesia Timur, tapi di seluruh dunia.

Menanam kembali tanah yang sudah kosong atau tandus merupakan solusi terbaik dan paling pasti. Sebab, kelanjutan hidup manusia dari generasi ke generasi bergantung pada makanan, pakaian, dan pernaungan. Itu semua berasal dari hutan-hutan yang menghasilkan berbagai produk. Maka tidak berlebihan bila pohon-pohon digambarkan sebagai pabrik ramah lingkungan dan tidak menghasilkan limbah.

Sebuah pabrik dikatakan sempurna jika itu tidak mencemari lingkungan, tidak mahal, dan menghasilkan kebutuhan vital seluruh umat manusia. Dengan bahan bakar sinar matahari, tumbuhan hijau menggunakan karbondioksida, air, dan mineral untuk menghasilkan makanan, secara langsung atau tidak langsung, bagi hampir semua kehidupan di bumi. Dalam proses ini, mereka mengisi kembali atmosfer, menyingkirkan karbondioksida dan melepaskan oksigen murni.

Banyak pebisnis lebih menyukai menginvestasikan dana mereka ke bisnis perkebunan sawit, ekaliptus dan sejenisnya. Sebenarnya, untuk saat ini mengingat hutan semakin berkurang, investasi terbaik adalah menanam berbagai jenis pohon berbuah. Entah itu di lahan sendiri atau lahan umum. Karena pohon berbuah akan memberikan imbal hasil dalam jangka panjang ke semua orang. Tidak hanya kepada para pebisnis. Juga kepada seluruh orang yang menikmati segarnya duduk di bawah pohon dan menikmati buahnya.

Ada banyak hal yang dapat dikembangkan dari hutan. Di hutan, kita dapat membudidayakan tanaman pangan. Hutan juga dapat dijadikan lokasi wisata bagi mereka yang mencintai alam. Bisa juga dijadikan sebagai lokasi budidaya ikan seperti lele dan gabus. Namun, dibutuhkan orang yang benar-benar sabar, hobi terhadap tanaman dan hewan, dan mencintai alam, untuk menjadikannya sumber penghasilan. Untuk itu, saya senang melihat upaya Econusa memberdayakan masyarakat Indonesia Timur dalam memanfaatkan hutan, khususnya pemanfaatannya sebagai Ekowisata dan Agroforestri.

Pemanfaatan Hutan jadi Ekowisata @Econusa


Samosir Pilihan Terbaik bagi Kamu Berpetualang Jelajahi Eksotisme Danau Toba

Danau Toba sangat luas. Terdiri dari 8 kabupaten. Jika kamu hanya punya libur dua hari rasanya tak cukup untuk eksplorasi banyak hal di Dana...