Peran Indonesia dan G20 terhadap Iklim Dunia

 

Peran Indonesia dan G20 terhadap Iklim Dunia

Tahun ke tahun suhu dunia meningkat. Dalam laporan World Meteorological Organization (WMO) pada awal Desember 2020 menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama). Dalam laporan Status Iklim Global sementara yang dikeluarkan oleh WMO juga menempatkan tahun 2020 menjadi salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.

Fakta kenaikan suhu tiap tahun ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi semua orang di bumi. Sebab, semua orang terkena dampak perubahan iklim. Melihat bencana meningkat dari tahun ke tahun, isu perubahan iklim menjadi topik paling penting untuk dibahas pada pertemuan G20.


Mangrove di Indonesia Timur berperan beear terhadap penyerapan karbon dunia foto: Econusa


Apalagi mengingat 12 bencana terbesar di dunia yang merenggut nyawa malah terjadi di negara-negara G20 pada 2021. Di antaranya di Indonesia lebih dari 150 orang tewas ketika Topan Seroja melanda NTT pada April 2021. Di Inggris Raya, Badai Christoph pada 18 Januari 2021  mendatangkan hujan lebat dan banjir yang meluas di seluruh negeri. Di Amerika Serikat Badai Ida menewaskan sedikitnya 45 orang dari Maryland hingga New York. Di China mengalami badai pasir terburuk dalam satu dekade pada Maret 2021.

Kanada mengalami gelombang panas pada Juni 2021, menewaskan 569 orang di provinsi paling barat Kanada British Columbia selama 5 hari. Jerman Barat dan Belgia mengalami banjir pada Juli 2021 dan menenggelamkan kota-kota dataran rendah di wilayah itu untuk pertama kalinya dalam 60 tahun. Di Jerman, sedikitnya 170 orang tewas dalam bencana alam terparah yang melanda negara Eropa itu dalam beberapa dasawarsa. Sedikitnya 8 orang tewas ketika kebakaran hutan melanda beberapa daerah Turki pada Juli dan Agustus 2021.

Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim menghimbau dunia dalam menangangi krisis iklim. Dalam KTT yang dilaksanakan secara daring pada 2021 tersebut Indonesia menunjukkan keseriusan dalam menangangi perubahan iklim. Begitu juga dengan sejumlah pemimpin dunia. Mereka juga berupaya untuk mencapai kesepakatan dalam sejumlah pertemuan pemimpin dunia untuk menangani perubahan iklim. Tapi, apakah pemimpin G20 bbenar-benar serius dalam menangani perubahan iklim?

Selamatkan Hutan

Pada 2015, pemimpin dunia berjanji memperlambat laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius, atau paling ideal 1,5 derajat Celcius. Namun saat ini dunia sedang mengarah pada level kenaikan sebesar 3 derajat Celcius, menurut lembaga Jerman, Climate Action Tracker. Meski sasaran 1,5 Celcius akan gagal tercapai dalam beberapa dekade ke depan, rata-rata suhu bumi bisa dikembalikan ke level aman pada akhir abad dengan menerapkan pengurangan emisi yang ekstrem. Selain dekarbonasi ekonomi, rencana itu juga melibatkan upaya penyedotan CO2 dari atmosfer Bumi. Tapi teknologi yang dibutuhkan masih sedemikian mahal, sehingga cara ini diragukan bisa ampuh dalam skala yang dibutuhkan.

Untuk itu, sangatlah wajar berkesimpulan solusi paling praktis untuk mencegah kenaikan suhu adalah dengan menyelamatkan hutan. Hutan-hutan yang masih tersisa di dunia harus dilindungi. Jika para pemimpin dunia benar-benar serius untuk menangani perubahan iklim, mereka harus bertanggung jawab dalam melestarikan hutan yang tersisa. Sebagai negara bagian G20 yang masih memiliki hutan lebat, Indonesia berperan besar menunjukkan keseriusan tersebut. Khususnya dalam menjaga hutan hujan tropis dan mangrove.

Berdasarkan data dari KLHS dan berbagai sumber, jika dibandingkan dengan global. Hutan bakau Papua mencapai 1.053.843 hektar dibandingkan dunia 15.330.000 hektar. Jika dipersentasikan, Papua sendiri mewakili hampir 7 persen dari total mangrove di dunia. Papua juga mewakili lebih dari 30 persen total mangrove di Indonesia. Kontribusi Papua terhadap Indonesia dan global begitu besar.

Sekecil apapun penggundulan hutan di Papua, itu berimbas ke  Indonesia serta mendunia. Khususnya mengingat hutan serta laut di Indonesia Timur merupakan benteng terakhir untuk menjaga cuaca. Hutan dan ekosistem lautnya yang sangat melimpah mampu menghasilkan oksigen yang kita hirup dan menyimpan polusi karbon yang kita hasilkan. Namun, keberadaan hutan dan laut di Indonesia Timur tak bebas dari ancaman kata EcoNusa Foundation.




Bila terus dibiarkan, kekhawatiran akan terjadi di seluruh bagian Indonesia, karena Hutan Papua dan Maluku merupakan benteng terakhir di Indonesia. Berbeda dengan di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa yang hutannya sudah rusak. Kerusakan tersebut secara tidak langsung berkontribusi terhadap krisis iklim yang dampaknya sudah bisa dirasakan, seperti cuaca yang tidak menentu, banjir besar yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera, serta badai tropis yang semakin dekat menuju khatulistiwa. Semoga dalam KTT G20 ini, isu iklim benar-benar mendapat perhatian serius. Kawasan Hutan di Indonesia Timur juga masuk dalam bagian perhatian Pemerintah Indonesia.

Oleh: Damayanti.

Warga biasa dan bukan siapa-siapa. Suka menulis apa saja dalam benak. Iklim jadi salah satu topik yang sangat ku pedulikan. Dulu suka topik keuangan sekarang lebih suka topik mengenai alam dan hutan. Tanpa alam khususnya tanpa hutan dan oksigen, kita tidak bisa hidup. Tanpa uang kita masih bisa hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan isi formulir

Samosir Pilihan Terbaik bagi Kamu Berpetualang Jelajahi Eksotisme Danau Toba

Danau Toba sangat luas. Terdiri dari 8 kabupaten. Jika kamu hanya punya libur dua hari rasanya tak cukup untuk eksplorasi banyak hal di Dana...