Dua pemateri |
Sebenarnya,
aku sudah tidak kuasa menahan ketawa saat ikutin kuliah Ilmu Komunikasi sama
dua dosen dari ASPIKOM tapi karena sambil ngerjakan tugas, ketawaku ku tahan.
Pasalnya, sebelum dosen menjelaskan, kami diajukan satu pertanyaan begini,”Apakah
ada masanya manusia tidak berkomunikasi?” Aku saat baca pertanyaan itu enteng
saja menjawab,” Ya”.
Ternyata
namaku langsung ditunjuk pula sama Pak Yenrizal, pemateri pertama. Kaget aku ditunjuk,
tapi pede saja aku menjawab begini,” Kalau sudah mati kan manusia tidak bisa
berkomunikasi lagi,”. Ternyata Pak Yenrizal mengoreksi jawabanku begini,” Kalau
sudah mati bukan manusia lagi!,” Sedikit merasa tersindir tapi aku juga ingin tertawa
besar, menertawakan jawabanku.
Lalu
Pak Yenrizal menjelaskan, selama hidupnya manusia berkomunikasi. Berkomunikasi
yang dimaksud bukanlah berbicara dua arah dengan lawan bicara. Sebab,
arti komunikasi adalah proses memaknai sesuatu. Jika sesorang memaknai sesuatu,
saat itu komunikasi sudah terjadi. Beliau mencontohkan dengan menunjukkan satu
gambar dan meminta beberapa dari peserta Youth Digital Campaigner menyampaikan pandangan
mereka tentang gambar tersebut. Ada 3 orang memberikan jawaban dengan versi
berbeda.
Nah,
proses saat para peserta menyimpulkan tentang gambar tersebut itu adalah
komunikasi. Dosen Aspikom ini juga menambahkan, saat kita berjumpa dengan
seseorang, melihat wajah, mata, rambutnya, kita sedang memaknai atau membuat
kesimpulan tentang orang tersebut, Dengan demikian, sepanjang hidupnya, selama
masih hidup, manusia berkomunikasi. Itulah intinya. Jadi, kalau sudah meninggal
tidak mungkin berkomunikasi.
Selain penjelasan arti komunikasi yang cukup panjang, Pak Yenrizal juga menjelaskan bahwa lingkungan tidak dapat berbicara tentang dirinya sendiri. Jadi, manusia berperan untuk memberikan makna. Maksudnya, manusialah yang berperan untuk menyampaikan opini mengenai lingkungan. Bicara tentang lingkungan maka bicara mengenai diri kita: dimana kita hidup, dan bekerja. Tidak ada komunikasi tanpa lingkungan, dan hidup bumi dapat diselamatkan atau dihancurkan dengan komunikasi.
‘Buang’
Mantan
Nah, istilah buanglah mantan pada tempatnya bikin aku
ngakak habis. Tapi Ibu Yenni Siswantini sepertinya sengaja bilang itu untuk mengundang
gelak tawa di sesi siang. Namun, ku pikir-pikir benar juga saat si Ibu bilang begini,”
Jangan punya banyak mantan, nanti repot buangnya,” Kalau terlalu banyak mantan
kan memang harus dibuang dari memori otak…hahaha.
Pre test yang diberikan pemateri kedua ini juga keren. Mantaplah
pokoknya. Hanya kami pesertalah yang tahu. Susah dijelaskan dengan
kata-kata..haha. Aku juga setuju saat si Ibu mengeluarkan pernyataan tentang tidak
efektifnya menjadikan sampah sebagai penghasilan dalam menangani tumpukan sampah.
Sebab, orang-orang akan semakin berfokus mengumpulkan sampah. Bukannya
mengurangi sampah. Mantap kalilah perenungan Ibu ini bah! Aku setuju juga Bu
akan itu. Pernah juga aku berkesimpulan seperti itu.
Upaya
menjadikan sampah sebagai bahan prakarya juga kurang efektif dalam
menanggulangi sampah, kata si Ibu. Aku pun juga setuju. Pengalamanku mengajar di
sebuah sekolah, murid-murid ngumpulin koran-koran bekas untuk dijadikan bunga
kertas. Eh, akhirnya potongan-potongan koran malah berhamburan di sana-sini.
Malah bikin repot dan menambah sampah.
Sesi
paling akhir sebelum post test, aku khususnya sangat suka. Ibu mengajak tiap
kelompok untuk mengutarakan advokasi lingkungan apa yang akan masing-masing kelompok
lakukan. Kelompokku, kelompok 9 dipilih Ibu untuk menyampaikan hasil diskusi
kami. Aku memang sambil ngantor saat kuliah ini berlangsung. Jujur saja..hehe.
Tapi syukurlah, aku ambil waktu sejenak untuk menyampaikan yang ada dalam
benak.
Aku
bilang, perlunya advokasi untuk mempertahankan hak-hak masyarakat di sekitar hutan
untuk mengelola hutan secara lestari. Jadi, oknum-oknum tidak sembarangan masuk
dan mengubah atau alih fungsi hutan. Maksunya, ada upaya kita untuk membantu
masyarakat dalam mempertahankan hak mereka untuk mengelola hutan. Dengan demikian,
hutan dijaga dan dimanfaatkan oleh penduduk sekitar.
Kami
juga menyarankan perlunya kelompok tani hutan (KTH) seperti yang saat ini juga
sudah ada di sejumlah tempat di Indonesia. Merekalah yang paling dekat dengan
hutan dan mengawasi apa yang terjadi di sekitar hutan. Dengan demikian, harapannya
pihak-pihak lain tidak sembarangan masuk ke hutan dan menggarapnya. Masyarakat di
sekitar hutan atau KTH perlu diajarkan untuk memanfaatkan hutan tanpa harus mengekspolitasinya.
Seperti yang dilakukan oleh Econusa lewat Ekowisata.
Sekian
cerita tentang kuliah pagi hingga siang 26 Maret 2022. Pesan paling pamungkas,
jangan punya banyak mantan. Repot nanti ‘buangnya’…haha
Foto-foto peserta |
Foto-foto peserta |
Penulis: Damayanti alias
Butet