Blog ini ditujukan Damayanti untuk berbagi Cerita dan Info kepada para pembaca. Penulis punya banyak hobi. Hobi menulis, mengajar, bertani, berwisata, fotografi, dan lainnya.
Fotoku bersama adek-adek dan kawan-kawan dari Malaysia. Sekalipun berbeda bangsa, bahasa dan kebudayaan, Bapak dan Allah kami sama. Allah kami bernama Yehuwa. Pendidik teragung dan paling cerdas di alam semesta.
Apa yang buat aku semakin yakin bahwa akan semakin banyak orang menuju Gunung Rumah Yehuwa/Jahowa.
Salah satu alasannya adalah orang-orang akan sadar bahwa pendidikan dunia itu Pendidikan Salah Kaprah!
Salah kaprah karena anak-anak diajarkan untuk selalu jadi no 1. Apa saja dilakukan sekalipun curang demi dapat nilai dan prestasi bagus. Mau nyontek, mau nyogok, mau hal curang apapun dilakukan demi raport atau IPK bagus. Beda banget dengan ajaran Yesus yang selalu utamakan mengalah dan jujur dalam segala hal.
Salah satunya buat ujian nasional. Sampai-sampai ada polisi pula yang ngawas. Eh tahu-tahu, di balik layar, kunci jawaban beredar. Diperdagangkan pula itu! Inilah yang buat aku dilema jadi guru. Berhentilah aku mengajar di sekolah, tergangu hati nuraniku. Lain lagi tuntutan kurikulum yang entah apa-apa, semua hanya bersifat tertulis dan tak sesuai kenyataan. Ah..pendidikan sekolah mah lebih diorientasikan jadi lahan bisnis. Cek saja di sekolah-kampus, mulai dari pengadaan buku, peralatan, dsb.
Lain lagi kondisi sekolah sekarang. Sifat manusia zaman sekarang menggenapi kali nubuatan 2 Timotius 3:1-5. Mau pendidik, mau murid, sama saja---kebanyakan gak beres. Ada yang ke sekolah atau ke kampus tujuan mau bergaya atau pacaran. Ada lagi sekadar sekolah yang penting punya ijazah dan bisa lamar kerja. Eh tahu2 sudah punya ijazah gak dapat kerjaan pula. S1 dan S2 pula gak dapat2 kerja. Kok bisa? Karena tujuan kuliah hanya mau dapat ijazah, bukan keterampilan dan bekal pengetahuan.
Pendidik di sekolah dan kampus juga sama kondisinya. Mengajar demi gaji tiap bulan. Kalau bisa dapat persenan dari pendaftaran murid atau buku. Apalagi sifat anak-anak makin parah, ya makin cueklah guru. Daripada dilaporin murid dan ortu ke polisi kalau didisplin mending diam-diam saja yang penting gaji jalan. Itulah juga buatku dilema sebagai guru.
Lain lagi proyek sekolah entah apa-apa. Ganti Menteri Pendidikan ganti kurikulum. Ganti buku, ganti ini itu demi proyek yang bisa datangkan uang masuk bagi mereka-mereka pejabat dkk. Kalau bisa, apa saja digarap yang penting tiap saat ada uang masuk. Dan mereka gak benar-benar terpanggil jadi pendidik, yang penting HEPENG.
Maka gak heran kalau guru pun tidak ada lagi yang benar-benar mengabdi dan idealis. Sebab, dari atasan sampai bawahan hampir sama. Sama-sama punya tujuan matrealistis. Maka gak heran sekolah dan kampus hanya menghasilkan produk-produk gagal. Gagal sebab anak murid dan kampus entah bagaimana wujudnya. Susah awak mendeskripsikannya.
Ini beda sekali dengan Organisasi Yehuwa. Alkitab gak pernah ganti kurikulum. Gak ada celah sedikit pun untuk korupsi di Organisasi Yehuwa. Semua pekerjanya adalah pekerja sukarela. Kalau punya motif-motif tertentu, cepat atau lambat toh Allah Yehuwa bakal singkapkan.
Upah jadi pekerja sukarela juga jauh lebih gede ketimbang jadi guru atau dosen di sekolah. Jaminannya di Matius 6:33. Kalau gak coba terjun langsung mana bisa yakin itu kata2 benar. Punya kehidupan bahagia zaman sekarang, upah pasti di masa depan.
So, buat apa lagi sibukkan diri sama Pendidikan Salah Kaprah! Yuk melamar jadi Pekerja Yehuwa. Mumpung masih ada sisa waktu, masih bisa berbuat. Kita berikan yang terbaik buat Bapak Sorgawi kita! Yuk!
Namaku Damayanti. Lahir pada 9 Desember 1989 di
Medan. Aku anak keempat dari 7 bersaudara. Mamaku Sijabat. Papaku Sinaga. Sejak
kecil aku hidup susah, miskin. Kami sering pindah-pindah rumah karena terus
mengontrak. Sejak kecil, aku merasakan betapa sulitnya hidup keluarga kami.
Kadang aku merasa iri melihat orang-orang kaya yang bisa punya ini itu. Aku
juga bingung mengapa mama dan bapak sering berantem. Kala itu aku sering
menyaksikan mama bawa kayu ke kedai hanya gara-gara bapak sering tidak pulang
ke rumah dan menghabiskan uangnya di kedai. Singkatnya, saat itu aku kurang
respek dan bahkan benci sama bapak.
Merantau
ke Samosir, Lumban Suhi-Suhi Toruan
Dari kecil, aku sudah menyadari ketidakberesan di
keluargaku. Karena ingin meningkatkan taraf hidup, usia 8 tahun atau kelas 2
SD, aku sudah merantau, ikut tinggal bersama tulangnya mama (opung Situmorang)
di Lumban Suhi-Suhi Samosir. Aku ditawarin opung ikut samanya biar aku bisa diperjuangkannya
untuk sekolah tinggi. Tawaran untuk jadi orang sukses dan iming-iming lainnya,
langsung memikatku. Lagi, aku berpikir, orang tuaku belum tentu bisa sekolahkan
aku ke perguruan tinggi. Semasa kecil, aku bertekad untuk jadi polisi wanita.
Soalnya, aku tidak suka melihat kejahatan dan ketidakadilan, termasuk aku ingin
memberantas kedai-kedai orang Batak.
Saat di Samosir, aktivitas sehari-hariku berubah
total. Dari yang biasanya pulang sekolah di rumah, aku harus ke ladang. Setiap
pagi pergi ke sekolah, aku harus bawa kerbau makan dan menempatkannya atau
dalam bahasa Batak manambat horbo. Pulang sekolah, aku bawa kerbau minum atau
memindahkannya ke padang rumput lain. Selesai itu, aku masih harus di ladang.
Aku dan opung boru dan doli sama-sama makan di ladang. Kadang, aku kesal sekali
sama mereka, menyesal ikut opung tinggal di Samosir karena aku diporsir kali
bekerja.
Saat kawan-kawan seusiaku biasanya masih memiliki
waktu bermain, aku di ladang terus-menerus. Sering sekali aku kena repet oleh
opung doli karena aku kerap menghayal atau istirahat. Maklumlah, aku yang gak
pernah mencangkul dipaksa mencangkul di tengah terik matahari, akibatnya lelah
dan sering cari alasan biar istirahat. Meski aku tinggal bersama tulang mama,
tiap malam aku tidur bersama opungnya mama, aku sebut dia Inang Namatua.
Sebenarnya, saat aku diminta ke Samosir, aku ditugaskan untuk jaga Inang
Namatua. Namun, faktanya aku diperkerjakan di ladang dan jaga kerbau opung.
Karena kebutuhanku sering diabaikan opung dan aku
terkadang direndahkan opung karena orang tuaku miskin, aku jadi ingin balik ke
Medan. Bayangkan betapa sakit hati dan kecewanya aku selama bertahun-tahun di
Samosir. Sering kali aku ditinggal opung. Mereka pergi ke pesta tanpa
meninggalkan makanan bagiku. Aku disuruh urus kerbau dan mencangkul tapi
kebutuhanku tidak dipenuhi sama sekali, buatku sering menangis. Kala itu, aku
jadi ikut-ikutan kawan mencuri di ladang, curi jagung, ubi, atau apalah yang
bisa dimakan. Curi uang inang juga iya.
Ya, karena ketahuan mencurilah akhirnya opung
yang dikenal sebagai sosok terpandang di kampung mengamuk lalu memukuliku. Aku
dipukuli pakai kayu hingga badanku bengkak merah-merah. Saat itu aku menjerit
minta tolong dan aku ingin balik ke orang tuaku.
Tahu-tahu, seminggu setelah kejadian itu, bapakku
datang ke Samosir melihat aku. Aku senang sekali melihat bapak dan langsung
saat itu pula aku minta ikut balik ke Medan. Opung terlihat kaget dan tak
menyangka aku memilih pulang ke Medan. Aku merasa terbebas dari belenggu beban
kala itu. Meski begitu, banyak kenangan indah yang ku dapat saat di Samosir.
Aku belajar menjadi gembala, petani, dan kadang menjadi nelayan. Soalnya,
setiap mandi di Danau Toba, aku biasanya pakai sampan para nelayan di sana
untuk sekadar main.
Pertama
Kali Mendengar Nama Jahowa
Kehidupan desa sungguh nikmat. Kenangan akan hal
ini juga yang buatku selalu rindu sama Samosir. Di Samosir jugalah aku sering
mendengarkan opung dan Inang Namatua berdoa dengan menyebut nama Jahowa dalam
doa “Hata Haporseaon”.
Aku memang ikut opung beragama Katolik kala itu,
tapi aku lebih suka mendengarkan guru agama Protestan, Bu Sitorus, menceritakan
kisah Musa, Abraham, Daud, Yusuf, dan tokoh lainnya saat apel pagi. Bisa
dibilang, kecintaanku sama Alkitab tumbuh waktu aku SD di Samosir, di SD Lumban
Pasir Alngit.
Tak Lama
di Medan, Merantau Lagi ke Papua
Kelas 6 SD aku balik ke Medan dan kembali hidup
bersama orang tuaku. Meski kembali hidup normal karena tidak lagi kerja di
ladang, aku malah jadi sering rindu Samosir. Setahun kemudian, tepat aku kelas
7 SMP, Inang Namatua meninggal. Nah, saat itu juga anaknya Inang Namatua dari
Papua, membujuk mama supaya aku ikut denganya ke Papua. Janjinya, mau sekolahin
aku jadi dokter atau apapun cita-citaku katanya bakal dipenuhi. Gak tahu kenapa,
aku sangat terpikat tawaran untuk merantau lagi.
Singkat cerita, sampailah aku di Sorong, Papua.
Aku belajar banyak hal di sana. Aku bantu menjalankan bisnis dagang opungku.
Aku ditempah jadi orang yang punya displin militer dan kerja nonstop bagaikan
robot. Aku tidak menyangka, perkataan manis opungku (tulangnya mama paling
bungsu) malah sangat mengecewakan. Aku tidak sangka kalau aku malah diperbudak
di tokonya. Tiap hari, tugasku merapikan barang, angkat barang, hitung uang dan
lainnya. Bahkan, beras isi 50 kg mampu ku angkat makanya lenganku berotot.
Sebenarnya, aku kecewa berat dan ingin mengadu ke orang tuaku. Tapi, aku gak
bisa mengadu. Aktivitasku sangat dikontrol. Makanya, aku tidak bisa berkutik.
Bahkan, saat pulang sekolah, main sebentar saja sama kawan, tidak boleh karena
aku harus kerja.
Ini bagian kisah hidupku yang paling menyakitkan.
Aku menelan rasa kecewa menahun. Tapi, yang lebih kecewa lagi saat aku akan
tamat SMA. Opung mengingkari janjinya kuliahkan aku. Dia mau kuliahkan aku
dengan syarat kuliahnya di STIKES keperawatan yang dekat dengan rumahnya.
Kemungkinan ini trik opung supaya dia bisa terus menguras tenagaku.
Aku sangat kecewa. Aku malu dengan kawan-kawanku
yang terus-menerus bertanya kemana aku kuliah. Aku dikenal sebagai anak yang
berprestasi dan dekat dengan guru. Bahkan aku dikenal sebagai tangan kanan wali
kelas. Jadi, saat itu bagiku, kuliah keperawatan kurang bergengsi dan aku
memang tidak berminat jadi perawat. Aku berulang kali minta sama opung supaya
aku ambil jurusan manajemen bisnis saja atau komputer. Tapi, opung malah bilang
aku tidak tahu diri! Kala itu aku bagaikan orang tersesat tanpa pilihan.
Satu-satunya tempat mengaduku adalah kawan-kawan
terdekatku di SMA Negeri 2 Sorong. Salah satunya adalah Cempaka, saudari yang
mengenalkanku tentang Allah Yehuwa. Meski hidupku sulit, aku sangat bersyukur
justru di sinilah aku mengenal Bapak Yehuwa. Aku mendapat banyak makanan rohani
dengan rajin melahap majalah-majalah yang dibawa Cempaka. Saat tahu opung tidak
bakal memenuhi permintaanku, aku sudah janji sama Cempaka, aku bakal nyari
Saksi-Saksi Yehuwa kalau aku balik ke Medan. Dan memang, akhirnya dengan mogok
makan selama berhari-hari, aku akhirnya balik ke Medan tanpa uang saku atau
uang kuliah sepeserpun. Hanya tiket pulang ke Medanlah yang ku dapat dari
opungku selama aku mengabdi 5 tahun. Aku selalu setia mengelola tokonya. Aku
tahu banyak tentang hartanya. Tapi aku tidak pernah terpikir untuk mencurangi
opung, dan tidak terpikir juga aku bakal dikecewakannya.
Berjuang
Kuliah
Awalnya, agak berat bagiku kembali Medan. Aku
takut kedatanganku bakal buat orang tuaku susah. Apalagi opung Papua sering
cerita kalau mama papa susah secara perekonomian dan terancam makan. Ternyata,
apa yang dikatakan opung tidak benar sepenuhnya. Meski memang sulit secara
ekonomi, keluargaku tidak pernah terancam makan. Saat melihat papa mamaku
gemuk, saudara-saudaraku semua sehat, aku sangat senang dan memutuskan bakal
menetap di Medan. Tapi, karena aku menggebu-gebu mau kuliah dan mama bilang
mereka tidak bisa kuliahkan aku kalau bukan ke negeri, buatku depresi berat.
Aku memang tipikal orang yang keras dan bisa
dibilang ambisius, kalau aku mau sesuatu, aku harus dapatkan. Karena semua
perguruan tinggi negeri sudah tutup, aku ngotot kuliah di swasta. Karena aku
mogok makan dan sakit keras, depresi berat, mama akhirnya memenuhi
permintaanku. Aku kuliah di STMIK Mikroskil ambil jurusan Sistem Informasi
Akuntansi, Medan.
Aku bertekad membuktikan bahwa aku bisa kuliah
dengan biaya sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku mulai kerja di pasar, bantu
tetanggaku jualan. Malam aku ngajar privat. Lama-kelamaan, akhirnya aku fokus
di bidang pendidikan. Malah, aku lebih mahir mengajarkan bahasa Inggris,
matematika, dan lainnya, ketimbang jurusanku sendiri komputer. Seraya waktu
berlalu, aku jadi orang yang matrealistis.
Aku ingat aku janji sama Cempaka bahwa aku akan
mencari Saksi Yehuwa di Medan dan memang sekali aku pernah jumpa sama Saksi.
Bertepatan saat itu adalah Om Morgan, saudara lansia yang sangat bersemangat
berdinas. Karena laki-laki, aku segan untuk memintanya mengajariku. Lalu,
kira-kira beberapa bulan kemudian, aku teringat akan majalah Sadarlah dan aku
rindu menyantap publikasi tersebut. Ku kirimlah surat ke Kantor Cabang lalu
dibalas dengan surat dan sebuah buku, buku Mendekatlah kepada Yehuwa.
Tak lama kemudian, datanglah sepasang suami istri
Saksi, Om Daud Tambunan dan istrinya, berkunjung ke rumah. Ternyata, merekalah
yang ditugaskan Kantor Cabang untuk menemuiku. Sayangnya, mama dan papa sangat
tidak suka Saksi. Mereka kurang menyambut tante dan om Tambunan. Aku pun
dilarang jumpa sama mereka. Aku akhirnya di kamar saja.
Kira-kira setengah tahun kemudian kalau tidak
salah, sekitar tahun 2010 aku berjumpa sepasang saudari mengabar ke rumah. Aku
lihat majalah mereka Sadarlah dan aku langsung berbicara dengan mereka. Mama
dan Papa secara tidak langsung mengusir mereka. Untungnya saat itu Kak Pelly
Sitanggang, salah satu dari mereka, meminta no ku. Dari situlah awal aku mulai
belajar Alkitab.
Guru
Alkitab Berganti-Ganti
Karena sibuk kuliah dan mengajar di les dan
sekolah, perhatianku untuk kebenaran tidak besar. Tapi, aku senang setiap kali
belajar. Hanya saja, untuk buat kemajuan rohani, aku belum bisa. Soalnya,
banyak hal yang harus ku tanggulangi, mulai dari bayar uang kuliah, cicilan
sepeda motor dan cicilan ini itu.
Hidupku benar-benar dililit dengan cicilan dan
orientasiku selalu materi. Tidak sampai 2 tahun belajar Alkitab sama Kak Pelly,
dia pindah ke Malaysia cari kerja. Lalu akupun vakum tidak belajar. Ya, karena
sibuk sama kerjaan dan kuliah, aku pun tidak mencari guru Alkitab lagi.
Untungnya, Kak Marta, partner Kak Pelly, berinisiatif nanya kabarku dan
menawariku belajar Alkitab. Lalu aku tanpa pikir panjang langsung terima.
Keluargaku tidak tahu kalau aku sedang belajar dengan Saksi. Aku selalu
beralasan akan kerja setiap minggu dan aku tidak pernah lagi ke gereja.
Tahun 2012 pertengahan, aku sudah mulai berhimpun
walau timbul tenggelam. Aku menyerap dan paham betul apa yang ku pelajari dan
aku tergerak untuk melakukan kehendak Yehuwa. Akan tetapi, aku belum bisa, aku
terhimpit sama biaya kuliah, dan banyak cicilan lainnya. Tapi aku berikrar
kepada Yehuwa. Dalam doaku sering ku sebut begini, "Allah Yehuwa, Engkau
mengetahui isi hatiku. Aku sangat ingin menjadi penyembahMu. Tapi Kau lihat
sendiri aku di sini masih sulit melepas bebanku. Aku sangat ingin, bila nanti
aku selesai kuliah dan dapat pekerjaan yang ku inginkan, aku kurangi waktuku
untuk dunia ini dan akan mengejar cita-cita rohaniku" Yehuwa menjawab
semua doaku. Belum tamat kuliah, aku langsung diterima di berbagai perusahaan.
Salah satunya Analisa. Tapi, aku tidak langsung mewujudkan ikrarku kepada
Yehuwa. Aku malah berpikir lagi untuk ambil S2 di luar negeri.
Dari kecil aku memang ingin sekali tinggal di
luar negeri misalnya di AS atau Australia. Itu sebabnya, aku suka bahasa
Inggris. Nyaris semua syarat untuk kuliah di luar negeri rampung. Aku melamar
ke tiga negara. Pertama, Taiwan. Kedua, Jepang. Ketiga, Australia. Namun, keadaan
keluargaku genting. Mama saat itu jatuh sakit dan aku malah terlihat sibuk sama
diriku sendiri. Saat mama bilang aku tidak perhatian samanya dan aku lebih
mengutamakan diri, terutama uang daripada dia, saat itu aku menangis dan
tersadar. Aku jadi ingat pelajaran Alkitab dan berbagai publikasi yang pernah
ku baca sebelumnya.
Aku merenungkan kehidupanku yang begitu ambisius
untuk mencari kesombongan diri. Aku menangis dan meminta ampun sama Bapak
Yehuwa karena aku dengan sengaja pura-pura lupa sama ikrarku. Sepanjang tahun
2013, aku berusaha untuk teratur berhimpun dan tahun 2014, saudari yang
mengajariku Alkitab sebelumnya, mengover aku ke Tante Tetje, istri penatua yang
sangat aku sayang dan paling mengerti aku. Aku menyerap banyak pelajaran dan
teladan darinya. Karena dorongan dia aku punya banyak cita-cita rohani.
Tantangan
Baptis
Setelah setahun studi dengan Tante Tetje, aku
menggebu-gebu menjadi penyiar. Kala itu aku sempat hampir tersandung akibat aku
kecewa permintaanku menjadi penyiar ditunda-tunda. Untungnya Tante Tetje dan
Kak Emi Candrawaty
dengan lembut memberikan keterangan kepadaku dan memintaku untuk bersabar.
Jujur, aku memanb ambisius dan merasa diriku sudah pintar dan kecewa dengan
penundaanku jadi penyiar. Aku merasa harga diriku direndahkan. Apalagi kala itu
aku jadi dosen, dan merasa diriku sudah hebat dibandingkan saudara-saudari
lain. Akulah yang angkuh dan tidak rendah hati. Untung aku tidak lama jadi
orang yang bebal dan angkuh. Aku kembali aktif di perhimpunan dan tak lama
kemudian jadi penyiar.
Kedua kalinya, aku juga hampir menyerah dan marah
sama penatua. Aku minta dibaptis di Kebaktian Regional 2015 tapi aku gak dikasi
kesempatan. Namun, aku tidak lagi berkeras dan akhirnya aku baptis di Kebaktian
Wilayah Oktober 2015. Kadang aku geli kalau ingat masa saat aku menggebu-gebu
ingin dibaptis. Lucu saja aku bisa menyalahkan penatua. Aku sadar aku keras
kepala dan bisa dibilang bebal.
Bersyukur, Bapa Yehuwa terus membentukku menjadi
tanah liat yang lembek yang siap Dia pakai. Bulan demi bulan meski banyak
tantangan di keluarga. Kakak-kakakku sudah pada bernikahan, aku merasa
bertanggung jawab besar untuk bantu keluarga. Karena papa punya kebiasaan pergi
ke kedai, sering kali dia lalai untuk menafkahi keluarga. Karena sudah bisa
bantu keluarga dan mandiri, aku merasa bisa 'bersuara' di rumah dan
terang-terangan bilang kalau aku adalah Saksi Yehuwa.
Ketika akan baptis aku memang permisi dan mama
marah samaku. Aku tidak peduli apa kata mereka. Yang aku tahu selama ini, aku
dapat banyak bantuan dari Allah Yehuwa dan aku memang lebih senang bergaul
dengan saudara-saudari. Sebulan setelah baptis, ada begitu banyak tantangan
yang ku hadapi. Banyak bila diceritakan satu per satu. Namun, ada banyak hal
juga yang mendorongku untuk meningkatkan kemajuan rohaniku, terutama melihat
teladan saudara/i. Pernah berkunjung ke Remote Translation Office (RTO), ke
sidang di Palembang, ke Malaysia dan ikut beberapa kebaktian di luar Medan, punya
dampak besar terhadap kerohanianku. Aku menyaksikan sendiri betapa Kerajaan Allah dalam doa yang Yesus
ajarkan dalam Doa Bapak Kami itu
sangat nyata-Lukas 11:2-4.
https://id.wikipedia.org/wiki/Doa_Bapa_Kami
Kira-kira bulan Juni 2016, aku memutuskan
berhenti dari sekolah dan mempertahankan satu pekerjaan. Aku memilih menjadi
Perintis Biasa. Tapi sebelum aku mengisi formulir PB, persis sehari sebelum aku
mengisi formulir tersebut pada 17 Agustus 2016 aku dijambret usai pulang
kantor. Namun, setelah sembuh akibat luka dijambret, aku langsung menandatangani
formulir PB. Pada Desember 2016, aku diumumkan masuk dalam barisan PB. Tidak
bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Aku senang sekaligus sedikit risau
dalam mengemban tanggung jawab baru ini dengan baik.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya, sejak kecil aku
sudah sangat mencintai Alkitab. Merasa beruntung mengenal nama Allah Jahowa di
Samosir. Mengenal Saksi Jahowa di Papua. Dan akhirnya menjadi Saksi Jahowa yang
berdomisili di Medan. Aku sadar bertahun-tahun aku banyak berkorban buat
manusia dan dikecewakan. Meski sudah memaafkan opungku yang tidak menepati
janjinya, aku jadi dapat pelajaran penting untuk tidak bersandar sepenuhnya
sama janji manusia. Aku juga belajar untuk tidak mudah buat janji sama orang,
apalagi untuk perkara yang serius. Aku bertekad berkorban banyak sama Bapak
Yehuwa karena selama ini, Dialah Pribadi yang sangat mengasihiku dan tidak
pernah mengecewakanku.
Dulu, aku sibuk mengejar perkara materi supaya
bisa bahagia dan aku lebih mendahulukan perkara materi ketimbang hal-hal
rohani. Namun, melihat banyak kehidupan orang, aku yakin kebenaran kata-kata di
AMSAL 10:22-”Berkat Yehuwa—itulah yang membuat kaya, dan ia tidak menambahkan
kepedihan hati bersamanya”. Aku sangat yakin bahwa dengan mengutamakan Kerajaan
Allah dan mengasihi Yehuwa dengan tulus, hidupku bakal bahagia.
Think Big, Start Small, Act Now! itu kira-kira
kata-kata yang tepat menggambarkan upaya Astra untuk berkontribusi terhadap
kemajuan masyarakat. Melalui Auto2000learning centre, Astra berusaha membantu
siswa-siswa SMK memperoleh kesempatan praktek kerja langsung (PKL) di
bengkel-bengkel Astra.
Mimpi besar Astra yakni bisa berkontribusi
terhadap kemajuan hidup masyarakat. Langkah kecilnya dimulai dari meningkatkan
keterampilan siswa-siswa PKL. Program PKL inilah yang dimanfaatkan berbagai
sekolah di Sumatera Utara, khususnya di Medan. Lewat PKL yang berkisar 3 bulan
ini, para siswa ditempah untuk menjadi tenaga terampil siap pakai. Tentu tidak
mudah bagi Astra untuk menempah siswa-siswa SMK dari berbagai latarbelakang.
Maka, Astra menyaring dan memilih anak yang dinilai serius untuk belajar.
Ridho, Kepala Bengkel di auto2000 Pancing Medan,
mengemukakan pihaknya hanya menerima dua murid dari tiap sekolah dari kira-kira
lima sekolah per tiga bulan. Alasannya, agar semua sekolah bisa memperoleh
kesempatan yang sama. Selain itu, supaya para siswa PKL juga bisa berbaur
dengan siswa dari sekolah lain. Dengan demikian, siswa-siswa tersebut juga
memperoleh keterampilan komunikasi dan siap menghadapi orang dari berbagai
latarbelakang.
"Semakin heterogen semakin bagus. Astra
berharap para siswa PKL bisa berbaur dengan anak-anak dari sekolah lainnya.
Dengan berada di lingkungan dimana banyak orang dari berbagai latarbelakang itu
bisa menempah siswa PKL terampil berkomunikasi” jelas Ridho.
Ia mengatakan, para siswa PKL tidak hanya
dibekali keterampilan (skill), mereka juga dibekali knowledge dan attitude.
Dengan menempatkan setiap anak PKL ke 5 pos secara bergilir, masing-masing
siswa diharapkan menguasai banyak hal sekaligus dalam kurun waktu tiga bulan.
Kelima pos tersebut di antara lain: post ekspress maintenance, post general
repair, post tools, post perbantukan di mobil baru, dan post washing.
“Jadi, Astra gak hanya berbagi ilmu secara
technical tapi juga pemeliharaan. Bagian cuci-mencuci juga penting demi
perawatan mobil” terang Ridho.
Ia mengatakan, setiap anak yang magang akan
menjadi helper mekanik. Mereka bekerjasama dengan para mekanik, melihat apa
yang akan bakal dilakukan para mekanik. Kebanyakan mekanik di Astra tadinya
juga para siswa eks PKL. Jadi, besar potensi bagi setiap anak PKL untuk bisa
bekerja di Astra. Hal ini dikarenakan Astra telah memantau rekam jejak siswa
PKL.
Astra menekankan pentingnya PKL ini dijalankan
dengan baik, tidak abal-abalan. Astra berharap dapat memberikan bekal
keterampilan pada anak didik sesuai program keahliannya, mampu
menginternalisasi nilai-nilai displin dan tanggung jawab pekerjaan serta
menambah etos kerja, meningkatkan rasa mandiri dan percaya diri secara umum, pengorganisasian
diri yang baik, yang merupakan dasar untuk menjadi pekerja yang berhasil.
Membangun Sifat-Sifat Bagus
Melalui PKL ini, Astra juga berharap dapat
membentuk karakter siswa PKL misalnya etika kerja, bertanya di saat yang tepat,
berusaha selalu menghargai atasan, berusaha tanggap, dan sifat lainnya. Tidak
hanya kepada siswa PKL, Astra juga memberikan masukan buat sekolah-sekolah agar
bisa memerhatikan hal-hal yang perlu ditingkatkan untuk diajarkan kepada siswa
sebelum mereka terjun PKL.
“Kami (Astra) biasanya kasih masukan kepada
sekolah-sekolah agar apa yang diajarkan di sekolah sesuai dengan kebutuhan di
lapangan kerja. Kalau diibaratkan, Astra itu industri jasa sedangkan sekolah
itu industri manusia. Nah, yang menerima ‘produk’ mereka itu kami. Jadi, kami
berusaha tunjukkan apa-apa saja yang perlu diperbaiki, sama seperti kami perlu
memperoleh masukan dari para pelanggan” jelas Ridho.
Tantangan Mendidik Siswa
Muklis, Foreman di Auto2000 Pancing menjelaskan, ada beberapa tantangan dalam
mendidik siswa PKL. Apalagi, makin tahun siswa-siswa PKL makin sulit diarahkan
dan cenderung kurang mendalami pelajaran mereka. Maka, Astra menyaring orang
yang benar-benar mau dididik. Bila terdapat anak-anak yang malas dan suka bolos
Astra menindak tegas, katanya.
Saat saya berada di lokasi bengkel Auto2000
Pancing, terdapat kira-kira delapan siswa PKL yang sedang membantu mekanik
membongkar mesin, memeriksa kerusakan kendaraan. Pekerjaan fisik ini jelas
terlihat menempah mereka belajar bersabar, belajar mengatasi masalah mulai dari
hal-hal kecil seperti menguasai bagian-bagian kecil dari mobil, kunci-kunci,
dan sebagainya.
Bambang, salah satu siswa PKL dari SMK Negeri
Satu Medan mengatakan, ia senang bisa berkesempatan PKL di Auto2000 Pancing. Ia
senang bisa bekerjasama dengan para tenaga terampil seperti mekanik dan foreman
memperbaiki mobil. Sekalipun banyak orang memandang pekerjaan memperbaiki mobil
membosankan, kotor, dan tidak menyenangkan, ia terlihat semangat bekerja.
Penyelarasan ke Dunia Kerja
Astra berharap dengan memberikan kesempatan PKL
ini menjadi wadah penyelarasan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Dengan
demikian, sekolah dapat berfokus untuk mengajarkan hal yang benar-benar penting
yang akan dihadapi para siswa nantinya di dunia kerja. Sebab, para murid kerap
mengeluh tidak ada hubungan antara apa yang mereka pelajari dengan dunia nyata.
Demikian juga dengan Astra sering mendapati para siswa bingung saat ditanyakan
hal-hal sederhana terkait jurusan yang mereka ambil.
Dengan adanya PKL ini, pola pendidikan di
Indonesia akan menghasilkan siswa yang siap menghadapi tantangan dunia nyata
sekaligus beradaptasi langsung dengan dunia kerja.
Mengingat komposisi jumlah sekolah menengah umum SMK ke depannya akan lebih
besar dibandingkan SMA, kehadiran Astra guna menyerap siswa SMK dan mencetak
tenaga terampil sangat dibutuhkan.
Apalagi Indonesia bakal memasuki bonus demografi
dalam waktu dekat. Maka, akan semakin besar angka tenaga siap latih atau siap
bekerja. Astra perlu mengeluarkan langkah-langkah solutif guna mengantisipasi
lonjakan jumlah siswa SMK yang membutuhkan tempat magang. Indonesia patut
bersyukur atas kehadiran Astra dan upayanya dalam memajukan kehidupan bangsa.
Sebab, PKL hanyalah salah satu dari sekian banyak langkah kecil yang dilakukan
Astra guna memajukan kehidupan masyarakat. Maka tepat kata-kata, Think Big,
Start Small, Act Now! Astra lakukan itu!
(Analisa/damayanti) WISATA KULINER:
Para anggota Komusatif tengah memasak tahu khas olahan sendiri. Komusatif
bertekad untuk meningkatkan wisata kuliner Asahan dengan menyediakan berbagai
macam produk hilirisasi pertanian.
KOMUNITAS Asahan Kreatif (Komusatif) menjadi pusat saluran ide
dan karya para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Asahan. Komunitas
yang saat ini terdiri lebih dari 20 anggota UMKM menciptakan jajanan
atau oleh-oleh khas Asahan.
Saat ini, mereka telah menghasilkan
berbagai produk unik seperti jus buah pala, jus buah murberi, jus buah rukam,
keripik, coklat rasa pala kacang, kue bawang, selai dan lainnya.
Masing-masing anggota Komusatif
menghasilkan satu atau lebih produk. Mereka dibina oleh Asosiasi Planter
Indonesia (API) mulai dari bahan yang akan digunakan hingga packing.
Ide membangun pusat oleh-oleh ini muncul dari Pelopor API, Baskara Liga.
Ia berpikir bagaimana agar Asahan
punya beberapa jajanan atau oleh-oleh khas yang dapat menjadi buah tangan para
pengunjung yang berwisata ke daerah Asahan. Setidaknya, terdapat pusat
jajanan khas dan sehat di Asahan seperti Pasar Bengkel.
Di Warung Kreatif Asahan ini, para
konsumen tidak hanya dapat membeli oleh-oleh, mereka juga bisa menikmati wisata
kuliner. Ada berbagai jenis makanan seperti lontong, nasi soto, kopi, dan
sajian lainnya. Konsumen juga dapat melihat atau membeli berbagai produk
pertanian dari yang umum hingga langka ditemui di pasaran.
Baskara dan para anggota Komusatif
lainnya, berusaha membuat berbagai jenis kuliner yang dapat dijadikan ciri
khas Asahan. Apalagi di Kisaran belum banyak ditmeui tempat
tongkrongan berburu wisata kuliner. Mereka berharap, Warung Kreatif
Asahan dapat meningkatkan perekonomian, khususnya pariwisata Asahan
dengan mengoptimalkan subsektor kuliner.
Hilirisasi Pertanian
“Kami (API) melihat ada banyak
hasil pertanian yang bisa dikembangkan menjadi oleh-oleh khas Asahan. Di sini
ada buah pala, murbei, srikaya, dan masih banyak lagi. Kami berusaha untuk
membangkitkan kreativitas dan inovasi sehingga menghasilkan berbagai produk
yang tidak hanya enak di mulut tetapi yang lebih utama sehat dan menyegarkan
bagi tubuh. Lokasi ini juga tidak sekadar sebagai pusat oleh-oleh tapi juga
harus menjadi media saluran ide para petani untuk memajukan Asahan, khususnya
melalui hilirisasi pertanian,” paparnya saat ditemui di Warung Asahan
Kreatif di Jalan Kartini.
Ia sangat berharap sektor ekonomi
kreatif kuliner mampu membangkitkan pertanian Indonesia. Apalagi selama ini
ia telah lama berkecimpungan di sektor pertanian, khususnya di bidang perkebunan.
Ia punya tekad besar untuk meningkatkan kedaulatan pangan melalui hilirasi
pertanian. Sebab, pengembangan produk tersebut diyakini dapat menyerap banyak
tenaga kerja, meningkatkan gizi, dan menyediakan semakin banyak produk
terjangkau bagi masyarakat. Ekonomi kreatif kuliner ini akan digarap secara
serius. Ia bersama anggota API dan Komusatif berharap warung kreatif Asahan
ini tidak hanya ada di Asahan saja. Tetapi, semangat untuk mendongkrak perekonomian
melalui hilirasi pertanian ini dapat dikembangkan dan ditularkan ke daerah
lainnya.
Tingkatkan Ekonomi
Ia menambahkan, selain bermanfaat
dalam mengembangkan kreativitas masyarakat, khususnya para ibu rumah
tangga, Komusatif juga berperan dalam mengurangi angka pengangguran di
Asahan.
Para pekerja di Komusatif saat ini
berasal dari para lulusan SMA yang sedang mencari kerja. Produk-produk
tersebut sebagian besar diolah di masing-masing rumah anggota Komusatif. Beberapa
produk unik diolah di warung kreatif. Umumnya, pengolahan masih menggunakan
alat tradisional.
Baskara menceritakan, awalnya ia
berencana memproduksi berbagai jenis produk hilirisasi dari tanaman unik.
Namun, ia memutuskan untuk mengembangkan apa saja produk pertanian yang
bisa dikonsumsi dan bernilai jual. Dengan demikian, dibutuhkan semangat
kreativitas dan waktu bagi para anggota Komusatif untuk terus mengadakan
riset dan uji coba.
Satinah, anggota Komusatif yang memproduksi
berbagai jenis keripik, mengaku terbantu dengan adanya Warung Kreatif. Ia
dapat mendistribusikan produk-produknya dan memperoleh keuntungan darinya
untuk menafkahi keluarga. Para warga di sekitar warung juga mengaku memperoleh
manfaat dengan hadirnya warung itu. Selain sebagai tempat untuk membeli
makanan, warung ini juga menjadi magnet bagi para wisatawan. (Damayanti)