Namaku Damayanti. Lahir pada 9 Desember 1989 di
Medan. Aku anak keempat dari 7 bersaudara. Mamaku Sijabat. Papaku Sinaga. Sejak
kecil aku hidup susah, miskin. Kami sering pindah-pindah rumah karena terus
mengontrak. Sejak kecil, aku merasakan betapa sulitnya hidup keluarga kami.
Kadang aku merasa iri melihat orang-orang kaya yang bisa punya ini itu. Aku
juga bingung mengapa mama dan bapak sering berantem. Kala itu aku sering
menyaksikan mama bawa kayu ke kedai hanya gara-gara bapak sering tidak pulang
ke rumah dan menghabiskan uangnya di kedai. Singkatnya, saat itu aku kurang
respek dan bahkan benci sama bapak.
Merantau
ke Samosir, Lumban Suhi-Suhi Toruan
Dari kecil, aku sudah menyadari ketidakberesan di
keluargaku. Karena ingin meningkatkan taraf hidup, usia 8 tahun atau kelas 2
SD, aku sudah merantau, ikut tinggal bersama tulangnya mama (opung Situmorang)
di Lumban Suhi-Suhi Samosir. Aku ditawarin opung ikut samanya biar aku bisa diperjuangkannya
untuk sekolah tinggi. Tawaran untuk jadi orang sukses dan iming-iming lainnya,
langsung memikatku. Lagi, aku berpikir, orang tuaku belum tentu bisa sekolahkan
aku ke perguruan tinggi. Semasa kecil, aku bertekad untuk jadi polisi wanita.
Soalnya, aku tidak suka melihat kejahatan dan ketidakadilan, termasuk aku ingin
memberantas kedai-kedai orang Batak.
Saat di Samosir, aktivitas sehari-hariku berubah
total. Dari yang biasanya pulang sekolah di rumah, aku harus ke ladang. Setiap
pagi pergi ke sekolah, aku harus bawa kerbau makan dan menempatkannya atau
dalam bahasa Batak manambat horbo. Pulang sekolah, aku bawa kerbau minum atau
memindahkannya ke padang rumput lain. Selesai itu, aku masih harus di ladang.
Aku dan opung boru dan doli sama-sama makan di ladang. Kadang, aku kesal sekali
sama mereka, menyesal ikut opung tinggal di Samosir karena aku diporsir kali
bekerja.
Saat kawan-kawan seusiaku biasanya masih memiliki
waktu bermain, aku di ladang terus-menerus. Sering sekali aku kena repet oleh
opung doli karena aku kerap menghayal atau istirahat. Maklumlah, aku yang gak
pernah mencangkul dipaksa mencangkul di tengah terik matahari, akibatnya lelah
dan sering cari alasan biar istirahat. Meski aku tinggal bersama tulang mama,
tiap malam aku tidur bersama opungnya mama, aku sebut dia Inang Namatua.
Sebenarnya, saat aku diminta ke Samosir, aku ditugaskan untuk jaga Inang
Namatua. Namun, faktanya aku diperkerjakan di ladang dan jaga kerbau opung.
Karena kebutuhanku sering diabaikan opung dan aku
terkadang direndahkan opung karena orang tuaku miskin, aku jadi ingin balik ke
Medan. Bayangkan betapa sakit hati dan kecewanya aku selama bertahun-tahun di
Samosir. Sering kali aku ditinggal opung. Mereka pergi ke pesta tanpa
meninggalkan makanan bagiku. Aku disuruh urus kerbau dan mencangkul tapi
kebutuhanku tidak dipenuhi sama sekali, buatku sering menangis. Kala itu, aku
jadi ikut-ikutan kawan mencuri di ladang, curi jagung, ubi, atau apalah yang
bisa dimakan. Curi uang inang juga iya.
Ya, karena ketahuan mencurilah akhirnya opung
yang dikenal sebagai sosok terpandang di kampung mengamuk lalu memukuliku. Aku
dipukuli pakai kayu hingga badanku bengkak merah-merah. Saat itu aku menjerit
minta tolong dan aku ingin balik ke orang tuaku.
Tahu-tahu, seminggu setelah kejadian itu, bapakku
datang ke Samosir melihat aku. Aku senang sekali melihat bapak dan langsung
saat itu pula aku minta ikut balik ke Medan. Opung terlihat kaget dan tak
menyangka aku memilih pulang ke Medan. Aku merasa terbebas dari belenggu beban
kala itu. Meski begitu, banyak kenangan indah yang ku dapat saat di Samosir.
Aku belajar menjadi gembala, petani, dan kadang menjadi nelayan. Soalnya,
setiap mandi di Danau Toba, aku biasanya pakai sampan para nelayan di sana
untuk sekadar main.
Pertama
Kali Mendengar Nama Jahowa
Kehidupan desa sungguh nikmat. Kenangan akan hal
ini juga yang buatku selalu rindu sama Samosir. Di Samosir jugalah aku sering
mendengarkan opung dan Inang Namatua berdoa dengan menyebut nama Jahowa dalam
doa “Hata Haporseaon”.
Aku memang ikut opung beragama Katolik kala itu,
tapi aku lebih suka mendengarkan guru agama Protestan, Bu Sitorus, menceritakan
kisah Musa, Abraham, Daud, Yusuf, dan tokoh lainnya saat apel pagi. Bisa
dibilang, kecintaanku sama Alkitab tumbuh waktu aku SD di Samosir, di SD Lumban
Pasir Alngit.
Tak Lama
di Medan, Merantau Lagi ke Papua
Kelas 6 SD aku balik ke Medan dan kembali hidup
bersama orang tuaku. Meski kembali hidup normal karena tidak lagi kerja di
ladang, aku malah jadi sering rindu Samosir. Setahun kemudian, tepat aku kelas
7 SMP, Inang Namatua meninggal. Nah, saat itu juga anaknya Inang Namatua dari
Papua, membujuk mama supaya aku ikut denganya ke Papua. Janjinya, mau sekolahin
aku jadi dokter atau apapun cita-citaku katanya bakal dipenuhi. Gak tahu kenapa,
aku sangat terpikat tawaran untuk merantau lagi.
Singkat cerita, sampailah aku di Sorong, Papua.
Aku belajar banyak hal di sana. Aku bantu menjalankan bisnis dagang opungku.
Aku ditempah jadi orang yang punya displin militer dan kerja nonstop bagaikan
robot. Aku tidak menyangka, perkataan manis opungku (tulangnya mama paling
bungsu) malah sangat mengecewakan. Aku tidak sangka kalau aku malah diperbudak
di tokonya. Tiap hari, tugasku merapikan barang, angkat barang, hitung uang dan
lainnya. Bahkan, beras isi 50 kg mampu ku angkat makanya lenganku berotot.
Sebenarnya, aku kecewa berat dan ingin mengadu ke orang tuaku. Tapi, aku gak
bisa mengadu. Aktivitasku sangat dikontrol. Makanya, aku tidak bisa berkutik.
Bahkan, saat pulang sekolah, main sebentar saja sama kawan, tidak boleh karena
aku harus kerja.
Ini bagian kisah hidupku yang paling menyakitkan.
Aku menelan rasa kecewa menahun. Tapi, yang lebih kecewa lagi saat aku akan
tamat SMA. Opung mengingkari janjinya kuliahkan aku. Dia mau kuliahkan aku
dengan syarat kuliahnya di STIKES keperawatan yang dekat dengan rumahnya.
Kemungkinan ini trik opung supaya dia bisa terus menguras tenagaku.
Aku sangat kecewa. Aku malu dengan kawan-kawanku
yang terus-menerus bertanya kemana aku kuliah. Aku dikenal sebagai anak yang
berprestasi dan dekat dengan guru. Bahkan aku dikenal sebagai tangan kanan wali
kelas. Jadi, saat itu bagiku, kuliah keperawatan kurang bergengsi dan aku
memang tidak berminat jadi perawat. Aku berulang kali minta sama opung supaya
aku ambil jurusan manajemen bisnis saja atau komputer. Tapi, opung malah bilang
aku tidak tahu diri! Kala itu aku bagaikan orang tersesat tanpa pilihan.
Satu-satunya tempat mengaduku adalah kawan-kawan
terdekatku di SMA Negeri 2 Sorong. Salah satunya adalah Cempaka, saudari yang
mengenalkanku tentang Allah Yehuwa. Meski hidupku sulit, aku sangat bersyukur
justru di sinilah aku mengenal Bapak Yehuwa. Aku mendapat banyak makanan rohani
dengan rajin melahap majalah-majalah yang dibawa Cempaka. Saat tahu opung tidak
bakal memenuhi permintaanku, aku sudah janji sama Cempaka, aku bakal nyari
Saksi-Saksi Yehuwa kalau aku balik ke Medan. Dan memang, akhirnya dengan mogok
makan selama berhari-hari, aku akhirnya balik ke Medan tanpa uang saku atau
uang kuliah sepeserpun. Hanya tiket pulang ke Medanlah yang ku dapat dari
opungku selama aku mengabdi 5 tahun. Aku selalu setia mengelola tokonya. Aku
tahu banyak tentang hartanya. Tapi aku tidak pernah terpikir untuk mencurangi
opung, dan tidak terpikir juga aku bakal dikecewakannya.
Berjuang
Kuliah
Awalnya, agak berat bagiku kembali Medan. Aku
takut kedatanganku bakal buat orang tuaku susah. Apalagi opung Papua sering
cerita kalau mama papa susah secara perekonomian dan terancam makan. Ternyata,
apa yang dikatakan opung tidak benar sepenuhnya. Meski memang sulit secara
ekonomi, keluargaku tidak pernah terancam makan. Saat melihat papa mamaku
gemuk, saudara-saudaraku semua sehat, aku sangat senang dan memutuskan bakal
menetap di Medan. Tapi, karena aku menggebu-gebu mau kuliah dan mama bilang
mereka tidak bisa kuliahkan aku kalau bukan ke negeri, buatku depresi berat.
Aku memang tipikal orang yang keras dan bisa
dibilang ambisius, kalau aku mau sesuatu, aku harus dapatkan. Karena semua
perguruan tinggi negeri sudah tutup, aku ngotot kuliah di swasta. Karena aku
mogok makan dan sakit keras, depresi berat, mama akhirnya memenuhi
permintaanku. Aku kuliah di STMIK Mikroskil ambil jurusan Sistem Informasi
Akuntansi, Medan.
Aku bertekad membuktikan bahwa aku bisa kuliah
dengan biaya sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku mulai kerja di pasar, bantu
tetanggaku jualan. Malam aku ngajar privat. Lama-kelamaan, akhirnya aku fokus
di bidang pendidikan. Malah, aku lebih mahir mengajarkan bahasa Inggris,
matematika, dan lainnya, ketimbang jurusanku sendiri komputer. Seraya waktu
berlalu, aku jadi orang yang matrealistis.
Aku ingat aku janji sama Cempaka bahwa aku akan
mencari Saksi Yehuwa di Medan dan memang sekali aku pernah jumpa sama Saksi.
Bertepatan saat itu adalah Om Morgan, saudara lansia yang sangat bersemangat
berdinas. Karena laki-laki, aku segan untuk memintanya mengajariku. Lalu,
kira-kira beberapa bulan kemudian, aku teringat akan majalah Sadarlah dan aku
rindu menyantap publikasi tersebut. Ku kirimlah surat ke Kantor Cabang lalu
dibalas dengan surat dan sebuah buku, buku Mendekatlah kepada Yehuwa.
Tak lama kemudian, datanglah sepasang suami istri
Saksi, Om Daud Tambunan dan istrinya, berkunjung ke rumah. Ternyata, merekalah
yang ditugaskan Kantor Cabang untuk menemuiku. Sayangnya, mama dan papa sangat
tidak suka Saksi. Mereka kurang menyambut tante dan om Tambunan. Aku pun
dilarang jumpa sama mereka. Aku akhirnya di kamar saja.
Kira-kira setengah tahun kemudian kalau tidak
salah, sekitar tahun 2010 aku berjumpa sepasang saudari mengabar ke rumah. Aku
lihat majalah mereka Sadarlah dan aku langsung berbicara dengan mereka. Mama
dan Papa secara tidak langsung mengusir mereka. Untungnya saat itu Kak Pelly
Sitanggang, salah satu dari mereka, meminta no ku. Dari situlah awal aku mulai
belajar Alkitab.
Guru
Alkitab Berganti-Ganti
Karena sibuk kuliah dan mengajar di les dan
sekolah, perhatianku untuk kebenaran tidak besar. Tapi, aku senang setiap kali
belajar. Hanya saja, untuk buat kemajuan rohani, aku belum bisa. Soalnya,
banyak hal yang harus ku tanggulangi, mulai dari bayar uang kuliah, cicilan
sepeda motor dan cicilan ini itu.
Hidupku benar-benar dililit dengan cicilan dan
orientasiku selalu materi. Tidak sampai 2 tahun belajar Alkitab sama Kak Pelly,
dia pindah ke Malaysia cari kerja. Lalu akupun vakum tidak belajar. Ya, karena
sibuk sama kerjaan dan kuliah, aku pun tidak mencari guru Alkitab lagi.
Untungnya, Kak Marta, partner Kak Pelly, berinisiatif nanya kabarku dan
menawariku belajar Alkitab. Lalu aku tanpa pikir panjang langsung terima.
Keluargaku tidak tahu kalau aku sedang belajar dengan Saksi. Aku selalu
beralasan akan kerja setiap minggu dan aku tidak pernah lagi ke gereja.
Tahun 2012 pertengahan, aku sudah mulai berhimpun
walau timbul tenggelam. Aku menyerap dan paham betul apa yang ku pelajari dan
aku tergerak untuk melakukan kehendak Yehuwa. Akan tetapi, aku belum bisa, aku
terhimpit sama biaya kuliah, dan banyak cicilan lainnya. Tapi aku berikrar
kepada Yehuwa. Dalam doaku sering ku sebut begini, "Allah Yehuwa, Engkau
mengetahui isi hatiku. Aku sangat ingin menjadi penyembahMu. Tapi Kau lihat
sendiri aku di sini masih sulit melepas bebanku. Aku sangat ingin, bila nanti
aku selesai kuliah dan dapat pekerjaan yang ku inginkan, aku kurangi waktuku
untuk dunia ini dan akan mengejar cita-cita rohaniku" Yehuwa menjawab
semua doaku. Belum tamat kuliah, aku langsung diterima di berbagai perusahaan.
Salah satunya Analisa. Tapi, aku tidak langsung mewujudkan ikrarku kepada
Yehuwa. Aku malah berpikir lagi untuk ambil S2 di luar negeri.
Dari kecil aku memang ingin sekali tinggal di
luar negeri misalnya di AS atau Australia. Itu sebabnya, aku suka bahasa
Inggris. Nyaris semua syarat untuk kuliah di luar negeri rampung. Aku melamar
ke tiga negara. Pertama, Taiwan. Kedua, Jepang. Ketiga, Australia. Namun, keadaan
keluargaku genting. Mama saat itu jatuh sakit dan aku malah terlihat sibuk sama
diriku sendiri. Saat mama bilang aku tidak perhatian samanya dan aku lebih
mengutamakan diri, terutama uang daripada dia, saat itu aku menangis dan
tersadar. Aku jadi ingat pelajaran Alkitab dan berbagai publikasi yang pernah
ku baca sebelumnya.
Aku merenungkan kehidupanku yang begitu ambisius
untuk mencari kesombongan diri. Aku menangis dan meminta ampun sama Bapak
Yehuwa karena aku dengan sengaja pura-pura lupa sama ikrarku. Sepanjang tahun
2013, aku berusaha untuk teratur berhimpun dan tahun 2014, saudari yang
mengajariku Alkitab sebelumnya, mengover aku ke Tante Tetje, istri penatua yang
sangat aku sayang dan paling mengerti aku. Aku menyerap banyak pelajaran dan
teladan darinya. Karena dorongan dia aku punya banyak cita-cita rohani.
Tantangan
Baptis
Setelah setahun studi dengan Tante Tetje, aku
menggebu-gebu menjadi penyiar. Kala itu aku sempat hampir tersandung akibat aku
kecewa permintaanku menjadi penyiar ditunda-tunda. Untungnya Tante Tetje dan
Kak Emi Candrawaty
dengan lembut memberikan keterangan kepadaku dan memintaku untuk bersabar.
Jujur, aku memanb ambisius dan merasa diriku sudah pintar dan kecewa dengan
penundaanku jadi penyiar. Aku merasa harga diriku direndahkan. Apalagi kala itu
aku jadi dosen, dan merasa diriku sudah hebat dibandingkan saudara-saudari
lain. Akulah yang angkuh dan tidak rendah hati. Untung aku tidak lama jadi
orang yang bebal dan angkuh. Aku kembali aktif di perhimpunan dan tak lama
kemudian jadi penyiar.
Kedua kalinya, aku juga hampir menyerah dan marah
sama penatua. Aku minta dibaptis di Kebaktian Regional 2015 tapi aku gak dikasi
kesempatan. Namun, aku tidak lagi berkeras dan akhirnya aku baptis di Kebaktian
Wilayah Oktober 2015. Kadang aku geli kalau ingat masa saat aku menggebu-gebu
ingin dibaptis. Lucu saja aku bisa menyalahkan penatua. Aku sadar aku keras
kepala dan bisa dibilang bebal.
Bersyukur, Bapa Yehuwa terus membentukku menjadi
tanah liat yang lembek yang siap Dia pakai. Bulan demi bulan meski banyak
tantangan di keluarga. Kakak-kakakku sudah pada bernikahan, aku merasa
bertanggung jawab besar untuk bantu keluarga. Karena papa punya kebiasaan pergi
ke kedai, sering kali dia lalai untuk menafkahi keluarga. Karena sudah bisa
bantu keluarga dan mandiri, aku merasa bisa 'bersuara' di rumah dan
terang-terangan bilang kalau aku adalah Saksi Yehuwa.
Ketika akan baptis aku memang permisi dan mama
marah samaku. Aku tidak peduli apa kata mereka. Yang aku tahu selama ini, aku
dapat banyak bantuan dari Allah Yehuwa dan aku memang lebih senang bergaul
dengan saudara-saudari. Sebulan setelah baptis, ada begitu banyak tantangan
yang ku hadapi. Banyak bila diceritakan satu per satu. Namun, ada banyak hal
juga yang mendorongku untuk meningkatkan kemajuan rohaniku, terutama melihat
teladan saudara/i. Pernah berkunjung ke Remote Translation Office (RTO), ke
sidang di Palembang, ke Malaysia dan ikut beberapa kebaktian di luar Medan, punya
dampak besar terhadap kerohanianku. Aku menyaksikan sendiri betapa Kerajaan Allah dalam doa yang Yesus
ajarkan dalam Doa Bapak Kami itu
sangat nyata-Lukas 11:2-4.
https://id.wikipedia.org/wiki/Doa_Bapa_Kami
Kira-kira bulan Juni 2016, aku memutuskan
berhenti dari sekolah dan mempertahankan satu pekerjaan. Aku memilih menjadi
Perintis Biasa. Tapi sebelum aku mengisi formulir PB, persis sehari sebelum aku
mengisi formulir tersebut pada 17 Agustus 2016 aku dijambret usai pulang
kantor. Namun, setelah sembuh akibat luka dijambret, aku langsung menandatangani
formulir PB. Pada Desember 2016, aku diumumkan masuk dalam barisan PB. Tidak
bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Aku senang sekaligus sedikit risau
dalam mengemban tanggung jawab baru ini dengan baik.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya, sejak kecil aku
sudah sangat mencintai Alkitab. Merasa beruntung mengenal nama Allah Jahowa di
Samosir. Mengenal Saksi Jahowa di Papua. Dan akhirnya menjadi Saksi Jahowa yang
berdomisili di Medan. Aku sadar bertahun-tahun aku banyak berkorban buat
manusia dan dikecewakan. Meski sudah memaafkan opungku yang tidak menepati
janjinya, aku jadi dapat pelajaran penting untuk tidak bersandar sepenuhnya
sama janji manusia. Aku juga belajar untuk tidak mudah buat janji sama orang,
apalagi untuk perkara yang serius. Aku bertekad berkorban banyak sama Bapak
Yehuwa karena selama ini, Dialah Pribadi yang sangat mengasihiku dan tidak
pernah mengecewakanku.
Dulu, aku sibuk mengejar perkara materi supaya
bisa bahagia dan aku lebih mendahulukan perkara materi ketimbang hal-hal
rohani. Namun, melihat banyak kehidupan orang, aku yakin kebenaran kata-kata di
AMSAL 10:22-”Berkat Yehuwa—itulah yang membuat kaya, dan ia tidak menambahkan
kepedihan hati bersamanya”. Aku sangat yakin bahwa dengan mengutamakan Kerajaan
Allah dan mengasihi Yehuwa dengan tulus, hidupku bakal bahagia.